Selasa, 12 Maret 2013

BALAS DENDAM ORANG " MANGKAGE"

Bangsa ini miskin dan sangat terkebelakang dalam segala aspek  akibat penjajahan asing yang sangat lama..  Setelah merdeka, muncul banyak persoalan,  seperti PRRI /Permesta, DI TII, RMS, Ibnu Hajar, pembebasan Irian Barat,  ditambah dengan konfrontasi dengan Malaysia yang menyita energi bangsa.

Sesudah sepuluh tahun pemerintahan Orde Baru , kita masih sangat jauh terkebelakang  dalam banyak bidang, misalnya pendidikan.  Orang terdidik pada tahun 70-an masih  sangat sedikit, sehingga seorang tamatan SMP direkrut untuk menjadi guru  SD. Orang masuk tentara, polisi dan PNS  sebahagian besar hanya pendidikan SD.

Orang terdidik ditahun 70-an sebahagian besar masih produk pendidikan Belanda yang lebih fasih bercakap dalam bahasa Belanda dan Inggris daripada bahasa Indonesia.

Setelah Soeharto menggalakan pembangunan, maka kemajuan mulai terasa. Investasi modal asing  begitu pesat melejit sangat laju meninggalkan rakyatnya  jauh dibelakang. Dari sisi SDM,  perangkat hukum, kesiapan mental dan persyaratan lainnya  kita masih kedodoran. 

Ditambah lagi  dengan diterapkannya  otonomi daerah di-era reformasi yang memberikan kewenangan sangat luas dalam pengambilan kebijakan dan pengolahan dana yang telah menciptakan elite baru dan  raja-raja kecil, telah menyuburkan korupsi oleh elite baru yang memang tidak siap dalam banyak aspek. Yang sangat diuntungkan  hanya sebahagian kecil anak bangsa  disebabkan  posisi penting yang tidak lepas dari keberhasilan pembangunan Orde Baru dan  terciptanya mobilisasi sosial sebagai dampak digenjotnya  pendidikan .

Sebahagian besar dari mereka yang dikatakan orang sebagai “elite bangsa” sekarang ini  dapat diibaratkan “orang kagetan”, kalau dalam ungkapan orang Manado “orang mangkage, kalau meminjam  istilah almarhum Nurcholis Madjid,  kita ditimpa “kejutan sosial”.

Tadinya tidur di rumah reot, menarik sandal jepit  miring sebelah,  naik vespa karatan,  kakinya bengkak karena selalu berjalan kaki berkilo-kilo meter, berenang dan menyelam di laut memanah ikan, menyadap saguer.Dari kumuh mendadak disuruh berlagak parlente, akhirnya,  pasang dasi saja miring, pakai jas saja  kedodoran, celana dan kemeja saja dipilih warna yang  tidak serasi.

Tidak heran, setelah menjadi  pejabat, tidak tahan menghadapi godaan, tidak tahu diri, merasa hebat sendiri, pintar sendiri, menumpuk kekayaan di tengah kemiskinan rakyat.  Karena terlalu lama jadi orang susah,  miskin dan terkebelakang sehingga ketika mendapat kesempatan, menjadi lupa daratan. Yang namanya rakyat, hilang dalam memory. Yang terpenting bagaimana   melakuklan “balas dendam”. Terlalu lama menderita karena jadi orang miskin.Sudah capek jadi orang melarat. Harus dilampiaskan sampai puas. Urusan rakyat nomor belakang.***

oleh Usman Hasan pada 17 September 2012 pukul 21:31

BARANG SIAPA BERAMBUT GONDRONG MAKA DIA ADALAH HANTU KUBURAN

Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa judul tulisan ini terlalu berlebihan.  Sungguh terlalu. Orang berambut gondrong disamakan dengan hantu kuburan.

Maaf ya pembaca, utamanya yang berambut gondrong  seperti saya.Judul postingan ini bukan kata-kata saya. Hanya dikutip .

Ada seorang Uzatd terkenal di Banjarmasin.  Uztad Rafii Hamdi namanya. Beliau secara rutin membawakan ceramah agama di Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Nama Sabilal Muhtadin diambil dari karya Ulama Besar Indonesia, kebetulan kelahiran Banjarmasin. Nama ulama besar itu Syekh  Arsyad Al Banjari (mohon maaf kalau penyebutan nama ulama besar itu salah dan tidak lengkap)

Dalam sebuah  kesempatan ceramah, Rafii Hamdi menceritakan mengenai seorang pemuda berambut gondrong datang ke Masjid. Dia menempati saf paling akhir. Sayang sekali, sebab itu kali terakhir si pemuda  gondrong datang ke Masjid. Pasalnya, dia sangat tersinggung atas penyampaian Uztad bahwa seseorang yang berambut gondrong disamakan dengan hantu kuburan.

Jadi, cerita dari Uztad Rafii Hamdi di tahun 80-an sangat membekas dalam memory saya. Oh ia, tentu Uztad Rafii Hamdi mengucapkan kalimat diatas tidak berdiri sendiri. Itu hanya salah satu kalimat dari keseluruhan ceramah sang Ustad. Yang hendak dikatakan oleh Uzatd Rafii, bahwa ada tahapan tertentu yang harus dipahami oleh seorang Muslim, utamanya masalah-masalah sosial. Tidak boleh sembarang ngomong, sekalipun dalam sebuah ceramah agama.  Si pemuda berambur gondrong itu kan ibarat ayam,  harus dikondisikan dulu menjadi jinak. Sesudah melalui proses penjinakan, baru disampaikan apa yang menjadi pendapat ideal kita, itupun harus dengan bahasa yang lembut dan dipilih kata-kata yang pas.  Nah, ketika si pemuda disemprot dengan kata-kata tajam begitu, buktinya dia menjauh, liar. Tujuan dakwah tidak tercapai.
Itu uraian diatas soal dakwah. Tapi dapat pula ditarik dalam kontek lain, misalnya dalam soal FB, atau berlalangbuana di dunia maya. Kadang ada postingan yang “berat”, memerlukan diskusi panjang, memerlukan energi pikiran, pokoknya serius lah. Nah, di FB itu kan saya anggap forum sangat umum. Ketika hendak berdiskusi soal berat-berat, saya pikir ndak kenak. Bukan ndak boleh, hanya ndak pas saja. Itupun hanya pendapat saya. Mungkin ada yang berpendapat lain, ya ndak apa-apa.

Kalau hendak membahas yang “ berat”, ya pilih blok yang serius, salah satunya “ Indo Progres” misalnya. Disana tidak sekedar menandai “menyukai”, tapi terbuka  perdebatan tajam, asal jangan sampai baku tantang berantem.

Juga dapat ditarik dalam kontek komunitas, berorganisasi. Saya kadang pusing juga. Setiap dikirim teman keluar daerah, setelah pulang, saya merasakan ada yang “aneh”, dalam sikap, gaya bicara, terutama pendapat-pendapatnya. Sebenarnya sih ada nilai positifnya, karena ada pendapat baru, ada pencerahan pemikiran. Kalau didiskusikan secara bagus, pasti ada nilia positif.  Namun kalau tak ditempatkan dalam posisi tepat, justru menimbulkan masalah. Kadang saya menangkap kesan, seolah-olah kita ini, maksudnya

“saya” sudah tidak ada benarnya.

Untung saja saya masih dapat mengimbangi. Lagi-lagi soal ceramah Uztad Rafii Hamdi sang idola saya.  Sang Uzatd menceritakan mengenai sebuah keluarga yang mengirim anaknya bersekolah ke tanah Jawa ( ini kan cerita zaman dahulu, dimana kebanggan besar ketika ada orang tua memiliki kesempatan menyekolahkan anaknya di tanah Jawa,karena kondisi tempo doeloe yang memang universitas terkosentrasi di Jawa).

Anak yang bersekolah ke Jawa pulang kampung. Kemudian menimbulkan masalah. Terjadi konflik antara anak dan orang tua. Pasalnya, setiap subuh pukul empat, masih enak-enaknya tidur, si anak sudah menggedor-gedor pintu kamar kedua orang tuanya, menyuruh orang tuanya sholat. Karena dilakukan setiap subuh oleh si anak, ayahnya agak jengkel juga.

Ayah : Kamu ini saya sekolahkan jauh-jauh sampai ke tanah Jawa, eh pulang malahan tambah kurang ajar.



Anak : apanya yang kurang ajar ayah. Saya ini kan hanya menyampaikan kebaikan, mengingatkan ayah untuk sebuah kemanfaatn. Sholat itu perintah Allah .

Ayah : hanya sanggup menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, menuju kamar mandi sambil bergumam : “nasib... nasib. Waduh tidak gampang menyekolahkan anak. “

Dari dua cerita Uztad diatas, ada sedikit persamaan. Ada makna yang dapat diipetik. Makna apa?
Pembaca sendiri yang boleh menyimpulkannya. Boleh jadi setiap orang berbeda dalam memaknainya.***

oleh Usman Hasan pada 15 September 2012 pukul 21:51 ·

Senin, 11 Maret 2013

“PESAN” FILM MAFIA, GODFATHER


Kejahatan terorganiser disebut mafia. Ada sebutan mafia pajak, ada mafia hukum, mafia kayu dan sebagainya. Pasti penyebutan mafia diambil dari nama sebuah kelompok kejahatan di Pulau Sisila Italia yang kemudian  menyebar hingga ke Amerika Serikat (AS). Hingga sekarang Mafia di AS masih mempertahankan pola rekrutmen yaitu khusus orang-orang Sisilia. Mungkin anda pernah mendengar nama Al Capone (tahun 30-an) pemimpin Mafia yang sangat ditakuti di AS.

Nah,  saya ingin menulis sedikit tentang Mafia sesuai dengan cerita di film The  Godfather, sebuah film yang dinobatkan oleh AFI (American Film Institute) dalam urutan pertama film  terbaik sepanjang zaman.

Tahun 1976 saya diajak teman nonton film ini. Saya yang kurang suka dengan film gangster, sehingga  menolak ajakan teman.

“Ini bukan film biasa. Sebuah film yang meraih banyak penghargaan. Bayangkan saja, ketika film ini dibuat, harus dijaga pihak keamanan, sebab diancam akan diganggu  oleh Mafia sebenarnya.” Begitu bujuk teman saya. Ya saya menerima tawaran teman. Apalagi kan dibelikan tiket. Ya boleh-boleh lah.

Ternyata benar kata teman saya . The Godfather bukan film sekedar saling bunuh, penuh pertumpahan darah, tapi sebuah film yang membawa pesan kemanusiaan, mengajarkan loyalitas, ketegasan sikap,  mengagungkan kekeluargaan diatas [i]segala-galanya. Juga ada idealisme, maksudnya, sang Godfather  

“Don” Vito Corleone  menolak tawaran kerja sama dari keluarga mafia  ( ada lima keluarga Mafia kala itu) melakukan bisnis heroin.

“Don” Vito Corleone adalah sang Godfather diperankan oleh Marlon Brando. Penampilannya sangat berwibawa, ditakuti lawan dan disegani kawan. Seorang tua yang tertatih-tatih, banyak penyanjungnya, banyak juga musuhnya. Dia masih  bertahan hanya demi mempertahankan keluarga besarnya  agar tidak ditelan zaman.

Sebenarnya ada anak Corleone, tapi dia tidak menyentuh bisnis keluarga, namanya  Michel yang diperankan oleh Al Pacino. Dia  study hukum .  Kemudian ada anak yang lain tapi nyatanya memiliki karakter yang tidak mendukung dalam pembelaan terhadap keluarga . Peragu, labil.

Ketika ada tawaran bisnis heroin dari keluarga mafia lain (ada lima keluarga mafia kala itu), Vito Corleone menolak dengan tegas. Itu sebabnya dia dibenci oleh keluarga mafia. Diupayakan pembunuhan terhadap Don Vito, namun selalu gagal.

Michel (Al Capone) turun tangan. Dia tidak mau keluarganya hendak dihabisi. Dengan terpaksa dia meninggalkan studynya. Dia mengambil alih kepemimpinan dari ayahnya. Michel yang lembut, santun, tenang, biasa bercumbu hanya dengan buku, dengan terpaksa turun gelanggang membela nama keluarga, mempertahankan eksistensi keluarga.

Setelah  Don Vito meninggal  karena serangan jantung, Michael mengambil alih kepemimpinan ayahnya dan membabat habis lawannya satu persatu, bahkan keluarga dekat yang berkhianat juga dihabisi  dengan sadis oleh anak buah Michel.

Cita-cita menyelesaikan study gagal dengan alasan menegakkan dan membela keluarga.
Teman saya benar. Film ini sebuah karya besar. Buktinya tak mampu  digilas zaman. Setelah 36 tahun saya menemukan di internet  ratusan ulasan mengenai film ini. Mulai dari yang tua sampai yang muda, para pengamat film sangat memuji setinggi langit. Bahkan ada yang mengaku telah menonton film ini sampai berpuluh-puluh kali.

Mungkin generasi baru, anak-anak muda sekarang ini, ketika film ini tayang perdana tahun 72, belum nongol di dunia. Tapi apalah artinya hari dan tahun kelahiran. Itu tidak terlalu penting. Kan hanya pembatasan-pembatasan yang manusia buat-buat, kadang mempersempit makna  dan eksistensi hidup. Yang penting adalah berusaha untuk memperkaya referensi. Jangan hanya terkotak-kotak dalam sebuah pemahaman sempit . Boleh cari filmnya dan silahkan menonton.

MAHASISWA JANGAN TIARAP


oleh Usman Hasan pada 10 September 2012 pukul 23:49

Mahasiswa  selalu memposisikan diri berada di pihak rakyat dalam berbagai persoalan yang membelitnya.Hampir tidak pernah dan janggal kedengarann kalau ada mahasiswa memposisikan diri pro status quo.Sejak zaman pergerakan, zaman orde baru,sampai zaman reformasi sekarang ini, mahasiswa tetap berada di pihak rakyat yang lemah.Bukan saja di indonesia, tapi India, China, Korea Selatan dan berbagai sudut dunia lainnya , mahasiswa pasti adalah pejuang dan pembela rakyat

Tradisi alamiah yang melekat dalam tubuh mahasiswa yang menyebabkan Adam Malik resah. Turun dari pesawat usai menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua Dewan Keamanan PBB, i Adam Malik mengelurakan pernyataan , " mahasiswa jangan tiarap"

Bagai terjaga dari tidur, mahasiswa saat itu bangkit , semangatnya kembali bergelora setelah dibangunkan melalui kata-kata tajam penuh sindiran dari Adam Malik

Tentu perjuangan mahasiswa sekarang ini disesuaikan dengan kontek kekinian. Mahasiswa tidak lagi menghadapi rezim totaliter, . Tidak lagi menentang Dwi Fungsi ABRI yang sudah dihapuskan.Justru  kita menghadapi rezim yang demokratis, hak berbicara dan mengutarakan pendapat sangat leluasa

Dalam kondisi seperti sekarang ini, seharusnya mahasiswa tetap kritis. Banyak pertanyaan yang pantas diajukan. Mengapa demokrasi telah dijalankan tapi kesejahteraan justru semakin jauh.Mengapa ada banyak lembaga penegak hukum justru korupsi semakin merajalela.Mengapa rakyat mendapatkan pemimpin yang bermoral kerakyatan rendah sementara telah dilakukan pemilihan  langsung.Mengapa APBN dan ABPD justru hanya mengakomodir kepentingan publik dibawah 50 %. Mengapa  dimana-mana terjadi gizi buruk (kelaparan). Mengapa kekayaan alam kita yang kaya justru hanya dinikmati oleh segelintir anak bangsa dan pihak asing. Dan masih banyak deretan pertanyaan lain.

Wah, itu kan ada yang mengurus. Mahasiswa urusannya adalah masuk kampus dan belajar. Mungkin seperti itu mahasiswa berkilah.Kalau benar demikian, artinya mahasiswa telah berhasil dimoderasi oleh kekuatan status quo yang menginginkan mahasiswa jauh dari masalah nyata rakyat demi keleluasaan menjalankan kepentingan sempit mereka.
Kalau Adam Malik sosok idealis dapat bangun dari kubur, maka dia akan menghardik mahasiswa   sekarang dengan kata-kata pedas  seperti pada tahun 80-an , " mahasiswa jangan tiarap"***

OMONG BESAR

gede

Ada sebuah cerita (dongeng)  soal nyamuk.. Jalan ceritanya  begini: diantara sekian banyak nyamuk ada yang  suka omong besar.

Kata nyamuk yang gemar bicara tinggi : itu manusia sangat menjengkelkan. Bahkan  sangat kejam.  Kita ini hanya mencari makan dan kodrat kita memang  seperti itu, konsumsi kita adalah darah, itu pun hanya sedikit– tidak sampai berliter-liter.Bayangkan, hanya dengan sekali keplak saja dia membunuh kita-kita ini. Ketika tidak mampu dengan cara keplak, maka dia pakai racun nyamuk. Itu manusia ndak sadar kalau kita ini besar jasanya. Coba bayangkan, kalau ada angin ribut, kita-kita ini yang menopang rumahnya sehingga tidak roboh, kita-kita ini yang menopang pohon kayu sehingga tidak mencelakai mereka manusia. Kalau kejengkelanku sudah tak tertahankan maka benar-benar saya akan telan telinganya..

Sebenarnya nyamuk bukan menopang rumah sehingga tidak roboh atau menopang pohon kayu sehingga tidak tumbang. Yang dia lakukan itu hanya sekedar berlindung di belakang rumah dan di samping pohon agar dia selamat oleh tiupan angin. Bukan disebabkan jasanya yang besar, hanya omong besarnya yang kumat . Merasa  berjasa  besar.

Atau menelan telinga manusia ? Itu namanya omongan besar yang tak ada taranya. Misalnya  telinga manusia hanya sebesar nyamuk,  belum tentu dapat ditelan.

Manusia juga kadang dihinggapi penyakit seperti si nyamuk yang pembual, angkuh dan merasa paling banyak jasanya. Merasa paling jago, merasa paling berkontribusi, padahal justru tak ada apa-apanya. Yang dia urus dan pentingkan hanya diri sendiri.  Bukan memberikan kontribusi yang positif, justru kadang kontribusi negatif. Bukan menciptakan keharmonisan, justru perpecahan. Bukan mendorong kemajuan, justru kemunduran.

Nah, siapa mereka itu ? Tentu tidak perlu ditulis, sebab yang namanya tulisan itu kan sifatnya umum, opini, sekedar   sisi pandang. Kalau bersifat umum maka tidak ada unsur pidananya, kalau menulis nama orang, menunjuk hidung, bisa membuat urusan menjadi repot. Ia kan?

Cerita nyamuk omong gede  diatas ada persamaan dengan  sebuah cerita terkait manusia, bukan dongeng tapi benar terjadi.  Sudah sepuluhan tahun  terjadi penyelesaian perang saudara (perang tentara Permesta dengan TNI), telah terjadi perdamaian,  tentara Permesta telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Ada seseorang yang selalu menceritakan kehebatannya, kejagoannya, jasanya dalam peperangan melawan TNI kepada kami para remaja.. Ya, kami tentu sangat terkagum-kagum dengan cerita keberaniannya  itu.

Suatu ketika saya sampaikan tentang cerita kejagoannya kepada paman saya dan bertanya apa paman juga sama seperti dia.

“Ah, ndak benar. Sudah dia itu yang paling duluan masuk lobang persembunyian kalau datang serangan udara lawan. Kalau bertempur dia itu tiarap terus. Kalau sudah aman baru muncul mendongakkan kepala.” Kata paman saya dengan jengkel.

“Mengapa paman tidak menembaknya sebelum bertempur melawan musuh, dari pada bikin susah anggota pasukan. “ kata saya yang direspon paman dengan senyum geli.

Cerita nyamuk omong besar dengan cerita tentara permesta yang lebih banyak masuk lobang perlindangan dan tiarap dari pada bertempur menghadapi musuh menjadi gambaran sebahagian manusia zaman sekarang
Kalau pembangunan pesat dia mengklaim diri sebagai paling berjasa besar. Kalau ada masalah, apalagi kegagalan maka dia lemparkan kesalahan ke orang lain. Kalau kandidatnya berhasil lolos jadi presiden, bupati, wakil rakyat – maka dia yang pertama mengaku paling berjasa. Kalau gagal, orang lain yang dia persalahkan. Enak juga.


oleh Usman Hasan pada 7 September 2012 pukul 23:30 ·


LEMBAGA TUKANG SOROT


Di negeri Kelabu ada berbagai instansi,lembaga,organisasi.Kalau legislatif disebut Dipor-Teman Pesuruh Rakyat disingkat DPR. Yudikatif disebut Dipor-Teman Hamba Hukum (DH2).Eksekutif disebut Dipor-Teman Suka-suka Memerintah Rakyat (DSMR).

Masyarakat juga memiliki organisasi. Kalau sekarang ini,kira-kira seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. Kalau istilah kerennya National Goverment  Organitation (NGO). Jadi mereka di negeri Kelabu  ada penyebutan tersendiri,penyebutan yang sudah baku,yaitu Lembaga Tukang Sorot (LTS).

Kerjanya sesuai dengan namanya “Tukang Sorot”.Apa saja dia soroti,mulai dari hugel pejabat, judi togel, korupsi milyaran rupiah sampai korupsi sepuluh karung beras miskin,soal kehadiran pegawai di kantor, perselisihan perbatasan tanah, bahkan sampai soal pertengkaran suami isteri pun mereka tangani asalkan memang ada laporan masyarakat.

Selain menjadi Tukang Sorot, lembaga ini disoroti juga oleh publik. Kalau DH2 dijuluki tebang pilih,pihak LTS dikritik sebagai tebang sorot.Pasalnya,kalau kasus ijazah palsu lawan politik,korupsi sepuluh karung raskin, korupsi teri lainnya,maka suara LTS sangat keras. “Pokoknya sekarang juga   tangkap,usut sesuai dengan hukum yang berlaku.Penegak hukum jangan tebang pilih.” Berbeda pula kalau yang kenak kasus masih satu bendera partai politik,mungkin satu tim sukses,atau tetangga rumah,tetangga  kebun.Pernyataannya lunak : “ya kita serahkan lah pada proses hukum.Kan ada yang namanya praduga tak bersalah.Jangan kita cepat memvonis,itu namanya pembunuhan karakter. “

Lebih celaka lagi,ada kritikan publik mengenai kalangan LTS ini yang dalam kenyataannya banyak yang sudah beralih profesi menjadi wakil rakyat,menjadi PNS –kemudian apa yang dia soroti dulu ketika masih sebagai LTS, justru dia yang melakukan. Misalnya,ketika dulu dia sebagai LTS sangat menentang perjalanan dinas pejabat yang berlebihan,eh.. setelah dia menjadi pejabat,justru dia yang paling kasak kusuk meminta perjalanan dinas. Dulu dia anti percaloan proyek,sekarang justru dia yang menjadi biang kerok calo proyek.. ***     

oleh Usman Hasan pada 7 September 2012 pukul 23:22

KERAK UNTUK RAKYAT

Ilustrasi

oleh Usman Hasan pada 6 September 2012 pukul 21:29

Sejak republik ini berdiri dan sejak Maklumat Hatta untuk mendirikan partai politik (parpol),  isue penting yang diusung parpol adalah rakyat miskin.

Dari sekian banyak parpol yang paling cerdas dalam mengusung isue rakyat miskin  adalah PKI. Pada tahun 1948,  PKI hancur lebur, kader-kadernya banyak tewas terbunuh, tapi hanya dalam tempo tujuh tahun PKI menjadi empat besar pemenang pemilu.

PNI sebagai parpol pemenang pemilu tahun 1955, juga tidak kalah cerdas dengan PKI dalam hal mengusung isue rakyat miskin. Marhaenisme sebagai ideologi PNI sangat jelas adalah pemihakan terhadap rakyat miskin. Marhaen sendiri adalah petani yang menurut Bung Karno pendiri PNI dimiskinkan oleh eksploitasi kaum kolonialis dan begundal-begundal pendukungnya dalam negeri.

Golkar juga cukup cerdas dalam hal mengusung rakyat miskin. Pemilu pertama (1971) di-era orde baru yang diikuti oleh sepuluh partai politik (termasuk Sekber Golkar) juga diramaikan dengan janji-janji untuk memperjuangkan nasib rakyat miskin. Kampanye Sekber Golkar waktu itu : “Sekber Golkar menang rakyat senang, Sekber Golkar menang beras murah”.
Parpol di-era raformasi juga rajin teriak memperjuangkan rakyat miskin.

Slogan parpol pada pemilu 1999 dan 2004 sangat enak didengar, istiah orang “Surga Telinga (ST)”, seperti maju tak gentar membela yang benar, mengentaskan kemiskinan, pendidikan gratis, harga cengkih dan coklat mahal, mendukung program reforma agraria, memperjungkan keadilan ekonomi bagi  wong cilik, mendorong penegakam hukum secara adil dan berbagai slogan kerakyatan lainnya

Pokoknya, tidak ada yang jelek. Namanya saja kampanye. Kalau yang jelek-jelek, misalnya membelakangi rakyat, pro pemilik modal, memihak hakim suap, mendukung calo proyek, menganjurkan mark up, menentang reformasi birokrasi,  tentu tidak ada rakyat yang miskin yang tertarik menusuk tanda gambarnya. Menengok saja tidak sudi, apa lagi mau menusuk tanda gambarnya.

Teman penulis menunjukkan setumpukan berkas, “ini daftar rakyat miskin se- Kabupaten. Pokoknya rakyat miskin di pelosok manapun ada di sini. Nama, alamat, berapa anaknya, pekerjaan, berapa isterinya, luas lahan dan sebagainya”.

“Buat apa?” tanya saya ingin tahu.

“Nah, kamu ini ndak paham. Daftar ini  penting digunakan sebagai data buat pemilu mendatang. Jadi, kita tahu berapa jumlah rakyat miskin, berapa dukun beranak, berapa tukang urut, berapa pengangguran, berapa orang tua jompo, berapa orang cacat, berapa orang pemabuk, berapa anak deker, berap ustad, berapa pemilih pemula di satu desa dan kecamatan. Jadi, kan gampang menyusun strategi taktik nanti untuk kampanye pemilu meraup suara rakyat miskin”.

Penulis cuma bisa melongo dan berdecak kagum :. “kamu ini cerdas juga ya?”

Sambil memanjangkan lehernya, dia bangkit dari tempat duduknya dan  berkata, “ia dong! Jualan parpol itu sejak dahulu kala adalah rakyat miskin. Coba lihat! Sedangkan Bank Dunia, IMF, dan semua LSM Internasional sampai LSM lokal bahkan pemerintah – jualannya pasti rakyat miskin. Buat apa jualan rakyat kaya?”

Penulis cuma manggut-manggut sambil bergumam, “betul juga. Kasihan rakyat miskin, dari zaman ke zaman hanya jadi barang jualan ! Banyak sekali istilah kerakyataan. Ada pemeri ntahan kerakyatan, ada demokrasi kerakyatan, ada ekonomi kerakyatan yang ujung-ujungnya hanya KERAK UNTUK TAKYAT.  Nasib….nasib”.


SEKILAS MENGENAI TAN MALAKA


Saya malu, merasa   sangat kecil dan tidak  ada artinya mengaku  sebagai aktifis setelah membaca riwayat hidup Tan Malaka. Saking hebatnya tokoh Tan Malaka sehingga sejarawan asing (Harry Poeze) bekerja puluhan tahun hanya untuk menyusun biografi almarhum sebanyak 2194  halaman dan diakui sebagai biografi terbesar di Indonesia. Kalau dikumpul semua biografi yang pernah ditulis sejarawan tentang Tan Malaka, maka jumlahnya lebih 3000 halaman 

 Tan Malaka masih berumur 25 tahun, dua tahun setelah pulang  dari study di negeri Belanda, mendirikan sekolah di Bandung dan Jogyakarta. Bukan seperti anak muda sekarang ini yang bisanya hanya mengurus akta notaris lembaga anti korupsi tapi nyatanya korupsi semakin menggila.

Karena dianggap membahayakan pemerintah Kolionial sehingga Tan Malaka dibuang ke negeri Belanda. Di Belanda Tan Malaka tetap berjuang bagi kemerdekaan bangsanya. Dan Tan Malaka melalangbuana sampai Berlin, Moskwa, Amoy, Syanghai,Kanton, Manila,Saigon,Bangkok,Hongkong,Singapura, Rangoon dan Penang. Semua dilakukan dalam bingkai cita-cita besar untuk kemerdekaan bangsanya. Sering tan Malaka mengalami kesulitan keuangan. Jalan keluarnya, Tan Malaka bekerja serabutan,a sal bisa melanjutkan perjuangan.  Berbeda dengan aktifis zaman sekarang yang hanya keliling Salumpaga, Dampal, Morowali,  Palu, sekali ke Jakarta, kemudian sudah menganggap diri  aktifis “hebat”

Tan Malaka pejuang Asia yang hanya dapat disejajarkan dengan Yose Rizal (Phlipina) dan Ho Chi Minh (Vietnam). 

Tan Malaka adalah tokoh pemikir sekaligus eksekutor gagasan-gagasannya. Idea-ideanya cemerlang lahir di dalam penjara atau ditengah kekejaman pendudukan Jepang
Buku Madilog (Materialisme Dialektika Logika) ditulis Tan Malaka di Jakarta (Kalibata) hanya dengan penerangan lampu botol. Kalau kehabisan bekal makanan, Tan Malaka bekerja jadi kuli bangunan. Berbeda dengan elite negeri sekarang ini. Sudah tersedia fasilitas canggih, tapi miskin karya tulis. Kalau ngomong suara terbanyak, dapil, baliho, paling  nomor satu. Kalau disuruh jadi tim sukses bupati, gubernur, presiden, dia akan laju seperti pesawat. Kalau disuruh membela petinggi bermasalah hukum, demo kesana kemari masuk keluar kantor penegak hukum, dia akan bersemangat, kalau perlu maju terus pantang mundur sampai titik  darah penghabisan

Tan Malaka sangat tidak sepakat dengan rencana pemberontakan PKI tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo Desember 1925).
Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927. Kemudian ketika sudah kembali dari luar negeri, pada tahun 1948 Tan Malaka mendirikan Partai Murba yang kemudian berfusi bersama PNI, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik dalam PDI pada tahun 1973.
Suatu kesalahan pemerintah Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru tidak setuju atas pemberontakan PKI tahun 1926/1927, ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan Partai Murba yang dia dirikan dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Sejarawan Poeze menemukan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa, dimana Tan Malaka menolak tulisan Efimova  “ Who Gave Instruction to The Indonesian Communist Leadr Musso in 1948” yang cenderung menganggap Musso bergerak sendiri tanpa arahan Rusia. Selama ini dikesankan bahwa itu adalah gerakan lokal yang diangkat Sukarno – Hatta sebagai peristiwa nasional agar RI mendapatkan dukungan internasional, terutama dari Amerika Serikat. Padahal, menurut Poeze. Pada masa itu hierarki dalam partai Komunis sangat kuat sehingga mustahil kegiatan lokal di Madiun tanpa restu politibiro PKI.

Demikian sekilas mengenai Tan Malaka yang mati ditembak tahun 1949,  diangkat sebagai Pahlawa Nasional oleh Pemerintah RI tanggal 28 Mart 1963.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang  selalu mengenang dan menghormati jasa para pahlawannya. Mengenang dan menghormati tentu dalam makna yang positif, dalam arti menyerap  roh dan semangat kerakyatan yang mereka miliki.

*Disari dari tulisan Asvi Warman Adam (Ahli Peneliti Utama LIPI) yang dimuat di Kompas , Senin, 3 Mart 2008. 

oleh Usman Hasan pada 3 September 2012 pukul 19:06 ·


Sabtu, 09 Maret 2013

DIALOG KUCING DAN TIKUS

Kucing (K): Kamu ini binatang  jorok, tidak berguna. Apa saja karyamu untuk dunia binatang. Kalau kamu tikus-tikus keparat yang mau diharap, peradaban dunia binatang sudah lama runtuh.

Tikus (T): Eh kamu kucing jangan menghina ya. Kami ini sama dengan binatang lainnya, diciptakan Tuhan bukan sia-sia. Sedikit banyak ada manfaat. Yang mencipatakan itu maha tahu.
K           : Apa pula kamu ini bawa-bawa nama Tuhan. He he he, binatang jahat macam kamu masih mau bawa-bawa nama Tuhan. Kamu mau peralat lagi Tuhan untuk kepentinganmu. Jangan belagu kamu tikus keparat

T              :Kamu bisa  kenak pidana. Itu namanya pencemaran nama baik tikus. Saya bisa laporkan kamu ke penegak hukum

K             : Atas dasar apa kamu mau laporkan saya. Pertama, tidak ada saksi. Kan menurut hukum, harus ada dua saksi. Siapa yang mau jadi saksi. He he he. Makanya belajar hukum kau. Kedua, sekalipun ada saksi, kata-kata saya tadi tidak masuk kategori pencemaran nama baik, masalahnya memang kamu tikus-tikus sudah memiliki nama tidak baik, jadi dimana pula pencemaran nama baik. Sudah dasarnya jelek, mau dikatakan pula pencemaran nama baik. Yang dapat disebut pencemaran nama baik apabila yang bersangkutan baik. Kalau sudah jelek, buruk, keparat macam kamu, he he he , apanya lagi pencemaran nama baik. Kamu kan tahu, itu koruptor diistilahkan manusia sebagai tikus. Kan ndak pernah disebut kucing korputor. He he he

T              : Ah itu kan istilah manusia. Itu manusia memang pintar, tapi  saking pintarnya, kadang membuat istilah keliru. Kalau dihaluskan “salah kaprah”.

K             : Ah kamu ini banyak alasan. Mempersalahkan pula manusia, sementara mulutmu itu tidak ada bedanya dengan mulutnya sebagian manusia  yang tergabung di LSM yang sok pintar seolah-olah dia menguasai semua persoalan, padahal hanya tahu kulit-kulitnya, atau tak bedanya dengan mulut itu sebagian manusia  di partai politik  yang  lebih banyak bohong ketimbang bicara benar.

T              : Tunggu dulu kucing sombong. Saya ini belum selesai bicara, jangan dulu dipotong. Baik saya jelaskan mengenai apa yang dimaksud salah kaprah. Begini : tikus itu kan tidak seperti anggapan manusia, perusak, pencuri. Kami ini lebih banyak di got, sesekali masuk rumah orang, itupun kebanyakan rumah yang kosong, atau rumah ada penghuninya, tapi rumah yang kurang perawatan. Sedangkan kamu, kucing peliharaan manusia karena  dianggap manusia sebagai binatang  sopan, alim, penurut. Nyatanya kamu kucing itu binatang munafiknya minta ampun. Pura-pura saja, menunduk, tapi ketika ada kesempatan langsung kamu habiskan ikan dalam belangan. Kamu ini menang  di alim tapi lalim, berlagak sopan tapi serakah, berwajah lembut tapi padahal penuh tipu daya, penurut padahal munafik.   Saya akan memprakarsai gugatan ke Lembaga Bahasa manusia agar dirobah istilah tikus koruptor. Pokoknya kami tikus menggugat penggunaan kata tikus untuk hal-hal yang  jelek, negatif. Kalau perlu kami akan menggugat ke Mahkamah Agung. Bukan hanya salah kaprah, tapi penghinaan, pelecehan. Sebuah istilah yang bertentangan dengan hukum dan keadilan, kebenaran dibolak-balik, tidak sesuai dengan realitas. Kami akan mengusulkan agar istilah buat koruptor diganti, bukan lagi tikus koruptor, tapi kucing koruptor.

Suksesi


Keluar pernyataan dari Pemimpin negeri Kelabu : kemungkinan saya tidak akan mencalonkan diri lagi, jadi sejak sekarang putra terbaik negeri ini sudah boleh mulai ancang-ancang, siapa sekiranya mau maju dalam pemilihan dua tahun lagi.
Pernyataan itu ( masih diragukan, karena diawali dengan kata “kemungkinan”). Walau demikian, pernyataan tersebut telah memancing publik untuk menanggapi. Orang mulai kasak-kusuk mencari siapa jagoannya yang akan dilepaskan di arena dan kebetulan mendapatkan sinyal lampu biru dari tokoh yang berkeinginan maju, sehingga muncul enam  nama. Mereka bukan orang sembarangan. Tokoh yang memiliki integritas pribadi yang terukur, keakhlian yang meyakinkan, moral tidak diragukan, jejak rekam jelas, jaringan luasdan terakhir memiliki modal alias fulus.

Tokoh pertama, Bapak Bestoro. Beliau dikenal luas, banyak pendukung fanatik. Beliau awalnya berkarir sebagai birokrat kemudian pensiun dini, pernah menjabat legislatif, dua kali maju bersaing selalu bernasib buntung. Dalam perjalanan karir beliau dipenuhi ranjau, tapi orangnya dikenal sangat ulet.

 Tokoh kedua, Bapak Nasar. Oh ya, kalau tokoh ini sangat energik, terbilang masih muda menurut ukuran negeri Kelabu, walau usianya sudah 40-an. Pribadi yang sangat cerdas, pernah memegang beberapa jabatan strategis. Pernah maju dalam perebutan orang nomor satu, tapi “keok”, selisih hanya sepuluh suara. Nasib belum memihak beliau.

 Tokoh ketiga, sapaan akrabnya pak Kadar.Pendatang baru dalam dunia politik, terbilang masih muda, walau bukan muda belia alias remaja. Dia itu berprofesi sebagai dokter bedah kandungan di rumah sakit terbesar di negeri Kelabu.
 Tokoh keempat, seorang birokrat tulen, pernah sebagai pejabat penting di Divisi Keuangan, muda, cerdas, berakhlak mulia.

Tokoh kelima, nah dia ini satu-satunya perempuan. Sapan akrabnya, mba Wita.   Tokoh dengan reputasi nasional, cantik, simpatik, populis, juga termasuk masih usia muda ( bukan ABG).

Tokoh keenam, dia sangat banyak pengalaman di birokrasi. Lama memimpin dan mengendalikan instansi yang berkaitan dengan urusan hutan. Walau orangnya terbilang cerdas, tapi kritik publik terhadapnya, bahwa selama memimpin intansinya, hutan hampir gundul. Pembalakan liar merajalela.

Kemudian timbul masalah. Baliho mereka dipasang dimana-mana. Di perkotaan, di pemukiman kaki gunung, di perempatan jalan, diterminal. Tujuannya hanya satu, memperkenalkan diri kepada publik, atau dalam bahasa populernya “politik pencitraan”.  Berhubung belum masuk taraf proses pemilihan sehingga tidak ada himbauan terkait pilih memilih. Paling sekedar ucapan hari ulang tahun negeri Kelabu, ucapan hari raya keagamaan, peringatan hari kemerdekaan, kampanye KB, himbauan ini dan itu.

Sebagian warga menganggap baliho mengurangi keindahan pemukiman. Tapi ada juga sisi positif, sebab negeri kelabu menerapkan aturan secara ketat, semua baliho politik dan non politik harus dipungut pajak reklame. Satu baliho Rp 2 juta. Nah, boleh anda hitung sendiri, kalau ada lima calon masing-masing seribu baliho, berarti kan : 5 x 1000 x Rp 2 juta = Rp 10.000.000.000 (10 Milyar).

Wah ! Demokrasi modal negeri Kelabu, ada sisi negatifnya, namun ada pula sisi positifnya.Memang lumayan

oleh Usman Hasan pada 2 September 2012 pukul 19:10 ·


Jumat, 08 Maret 2013

Bohong


Ulama, sastrawan, pujangga, wartawan Buya Hamka yang sangat dikenal, dikenang dan dicintai rakyat Indonesia pernah menulis sebuah buku dengan judul pendek dan sederhana “ Bohong Didunia “ . Dengan sangat lincah dan menarik Buya Hamka menulis soal bohong, dan  pengarang produktif itu dapat mengulas soal bohong  menjadi sebuah buku yang lumayan tebal.Menurut Buya Hamka, sumber pertengkaran, kekacauan, kejahatan didunia ini adalah bohong.

Isteri berbohong kepada suami, katanya pergi arisan, padahal menemui PIL (Pria Idaman Lain). Demikian sebaliknya, suami membohongi isteri, katanya ada rapat, ternyata lagi indehoy dengan WIL ( Wanita Idaman lain). Terjadilah pertengkaran, menumpuk menjadi permusuhan, kemudian berujung naik ke pengadilan minta cerai. Yang menerima dampak negatif adalah anak-anak.

Anak bohong kepada orang tua, katanya pergi kuliah di Makasar. Ternyata lebih banyak keluyuran dari pada masuk kampus, lebih banyak pacaran dari pada belajar. Sawah terjual, rumah terjual, harta berharga terjual. Sang anak tidak menyelesaikan kuliah. Tidak berhasil apa yang jadi mimpi orang tua supaya anaknya sukses dalam study. Hanya keberhasilan membawa isteri dan anak bayi yang diboyong kerumah orang tua di kampung. Cita-cita kandas, orang tua kecewa, harta habis,  anak tidak berhasil menyelesaikan kuliah.

Anggota Legislatif  bohong kepada konstituen atau secara lebih luas,  bohong kepada rakyat. Katanya mau memperjuangkan rakyat, memperhatikan nasib rakyat.Rakyat ke dewan, para wakil-wakilnya tidak ada satupun menunjukan batang hidungnya . Jangankan mau memperjuangkan rakyat, menerima saja enggan, atau takut ? Kalau takut, menjadi pertanyaan, apa yang ditakutkan? Bukankah rakyat tidak membawa pentungan, apalagi senjata api.

Jadi pejabat eksekutif, idem dito alias sama. Katanya mau mensejahterakan rakyat, ternyata hanya mensejahterakan orang-orang dekat. Entah dekat secara keluarga, dekat sebagai  teman, dekat sebab satu partai, dekat sebab menjadi tim sukses. Itu bohong juga namanya.

Jadi pejabat yudikatif juga bohong dan menyalahi sumpah jabatan. Katanya mau menegakan keadilan, ibarat dewi themis pemegang neraca. Ternyata kerjanya hanya membuka diri menerima suap.

 Bukan hanya itu. Masih ada lagi. Jadi LSM juga bohong. Bawa rakyat aksi, protes illegal looging, protes reklamasi pantai, sementara itu mulutnya menganga minta suap, telpon genggamnya dihidupkan siang malam non stop menjaga kalau-kalau orang-orang bermasalah menghubunginya bikin negoisasi. Belum kering keringat rakyat yang dibawa aksi, para petinggi LSM sudah meluncur makan ikan bakar dengan orang bermasalah yang di demo itu.  Lembaran Sudirman mampu menutupi idealisme para aktifis pejuang rakyat. Petinggi LSM berkibar, pengikut  demo  terpuruk.

Jadi wartawan juga bohong. Bikin berita sekedarnya. Asal sudah sekali muncul . Sesudah itu tidak ada lagi tindak lanjut. Di pending, istilah trend, bikin bargaining.

Lalu, kalau sudah memang separah itu, bagaimana pula?. Seperti kata orang, hanya perbuatan oknum. Masih ada yang baik, seperti sebuah ungkapan populer, mangga dalam keranjang tidak semua busuk.Mana yang baik itu yang diambil.  Kalau semuanya busuk ? Ya ndak usah diambil, dibuang semuanya.. Gampang kan? ***

oleh Usman Hasan pada 31 Agustus 2012 pukul 15:01 

Senjata Makan Tuan


Sebuah kisah pada zaman dahulu kala. Ada seseorang yang sangat membenci sesama rekan pejabat sehingga dia berpikir keras bagaimana memfitnahnya dihadapan raja. 
Menteri yang hasud itu menghadap raja.

“Ampun Tuanku. Itu si pejabat A mengatakan bahwa mulut Tuanku berbau busuk.”

“Masak ? Kurangajar ! ” Raja sangat murka setelah menerima laporan pembantunya.
Kata raja lagi, ‘tapi, bagamana saudara bisa meyakinkan saya”

“Begini  Tuanku. Nanti hamba suruh menghadap pejabat itu dihadapan Tuanku. Kalau dia menutup hidung, berarti apa yang hamba katakan itu benar adanya. Kata pejabat yang hasud itu.

Rajanya pun menyetujui

Sebelum disuruh menghadap raja, dia  mengundang pejabat itu  kerumahnya. Sengaja tamunya itu dihidangkan masakan yang lezat yang dibumbui banyak bawang putih.

Selesai makan, maka disampaikan undangan raja.

Raja menerima pejabatnya dengan sikap biasa. Tidak menunjukan kemarahan. Pejabat itu dipersilahkan duduk.
Si pejabat berusaha menutup mulut dengan sapu tangan, maksusnya khawatir bau bawang putih dari mulutnya mengganggu penciuman raja.

Pikir raja, berarti betul apa yang dikatakan oleh pembantunya.
Raja pun membuat surat kemudian dimasukan dalam amplop dengan pesan untuk diberikan kepada seseorang diluar kota.

Ini surat saudara sampaikan kepada orang sesuai dengan alamat di sampul depan amplop ini. Saudara akan menerima hadiah yang besar karena pengabdianmu buat negara

Ditengah perjalanan dia ketemu dengan pejabat hasud.

“Saudara mau kemana. Bagaimana pertemuan dengan raja tadi ? “

“Saya disuruh menemui orang sesuai dengan alamat di sampul surat ini. kata raja ada hadiah besar untuk saya .”
“Biar saya yang akan menyampaikan surat ini. Nanti hadiahnya kita bagi-bagi.” Kata pejabat hasud

” Boleh saja.” katanya sambil menyerahkan amplop surat itu

‘ Kamu bersiap-siap, sebab raja memerintahkan agar saya mengekskusimu.”

“Waduh. Ini surat hanya dititip. Saya hanya mengantar saja. Kalau ndak percaya, persilahkan tanya raja”

"‘Tidak. Perintah raja tidak boleh ditunda sedetikpun. ” Algojo raja segera menangkap , mengikatnya dan menyeret ke tiang gantungan.***


oleh Usman Hasan pada 31 Agustus 2012 pukul 12:09

Rabu, 06 Maret 2013

PEMBELA


Permasalahan korupsi sebuah topik yang tidak akan kering untuk dibahas. Sebab soal korupsi terkait dengan budaya, sejarah, politik, ekonomi, percaturan global, kepentingan kekuasaan, kebijakan dan berderet masalah lainnya.

 Nah, Tulisan ini mengenai salah satu sisi dari permasalahan korupsi, yaitu munculnya para “pembela” koruptor.

Ketika ada pengacara yang membela koruptor di Pengadilan, maka hal itu masih dalam tataran penegakan hukum, pengacara membela terhadap hak-hak si tersangka sebagai warga negara, walau ada sebagian pengacara yang tidak mau menyentuh atau tidak rela menyediakan diri untuk membela koruptor.

Sebagai contoh, bagaimana upaya penangkapan Bupati Buol yang ditayangkan di televisi dan menurut pengarah berita, ada perlawanan dari sekelompok masyarakat, mereka lengkap dengan senjata tajam menghalangi, setidaknya mempersulit penangkapan. Bupati Buol sempat melarikan diri dengan mobil dan nyaris mencederai salah satu petuga KPK. Itu sebabnya perlu didatangkan Densus 88 dari Jakarta, sebab ada kesulitan penangkapan hanya oleh KPK saja.

Bukan hanya di televisi, tapi saya mendengarkan dari seseorang sebagai pelaku penangakapan itu, dia menceritakan bagaimana kondisi kala itu. “Pokoknya kayak di film detektif saja, pak. “ Begitu katanya.

Masih menurut teman saya sebagai pelaku penangkapan Ansory, sebenarnya kalau hendak dipaksakan, aparat dapat menangkap Bupati Buol pada saat penangkapan Anshory, tapi kan dalam melaksanakan tugas harus ada pertimbangan lain, misalnya faktor keamanan dan kestabilan yang harus dijaga, apalagi menjelang Pemilukada. Kalau si penyuap sudah ditangkap lengkap dengan barang bukti, maka soal penerimanya walau melarikan diri, hanya soal waktu saja, pasti akan ditangkap.

Di Indonesia sekarang ini banyak bermunculan “pembela”,. Sengaja saya gunakan tanda kutip dalam kata pembela, untuk membedakan dengan pembela yang memiliki dasar hukum dan memiliki basis argumentasi jelas seperti pengacara, pembela agama, pembela rakyat.

Buya Hamka pernah menulis di Panji Masyarakat dengan judul “Ghirah”. Menurut penjelasan Buya Hamka, seorang Muslim harus memiliki Ghirah, yaitu sikap cemburu yang kemudian melahirkan sikap pembelaan terhadap agamanya, tehadap keluarganya, terhadap negaranya. Contoh : ketika agama islam dilecehkan, dihinakan, atau keluarga kita dizalimi, negara kita diserang musuh, maka adalah kewajiban umat Islam untuk bertindak melakukan pembelaan mati-matian. Berdiam diri tandanya tidak memiliki Ghirah dan sebuah sikap pengecut yang dicela agama. Yang dimaksud Buya Hamka adalah kehormatan agama, keluarga dan negara. Menjadi wajib dilaksanakan pembelaan.Tapi pasti bukan "pembela " seperti pembela yang saya maksud dalam tulisan ini yang dimaksud oleh Buya Hamka.

“Pembela” yang saya maksud dalam tulisan ini adalah pembela dalam arti secara membabi buta , membela hanya didasarkan pada kepentingan sesaat, kepentingan sempit yang tidak memiliki dasar argumetasi yang kuat.Yang hendak menangkap kan KPK yang diberi hak berdasarkan Undang-Undang untuk urusan menangkap basah yang diduga korupsi. Dengan alasan apa sekelompok warga hendak menghalangi. Seandainya Bupati Buol hendak diculik oleh teroris, hendak diperlakukan sewenang-wenang, boleh jadi ada alasan yang kuat apabila sekelompok warga membela, mempertahankan Bupatinya.
Fenomena “pembela” sangat kentara di republik ini. Ketika ada kasus korupsi besar, muncul sekelompok orang demo ke kejaksaan, ke pengadilan dengan maksud membela. Ketika ada kasus yang menimpa petinggi tertentu, muncul aktifis karbitan yang tidak jelas apa tujuan dan maksud. Mengurusi soal urusan tetek bengek dari elite politik yang nyata-nyata tidak ada kaitannya dengan rakyat miskin.

Belakangan ini tersedia aktifis yang sering diistilahkan broker, mereka memerankan diri sebagai “pembela”. Dengan gaya bicaranya yang fasih seolah-olah menguasai banyak persoalan padahal hanya tahu sedikit,agak bernyali, berani maju tak gentar membela yang bayar dengan uang receh, sebuah kondisi yang dengan mudah dibaca oleh elite kepala batu, kemudian mereka memanfaatkannya.

Kadang juga, aktifis dikompori : “itu nah si pejabat A (mungkin lawan politiknya), dia sudah menyalahgunakan uang rakyat, ini ada data lengkap, kalian demo sana, masak sih uang rakyat diambil untuk kepentingan pribadi.

Si aktifis karena kurang analisis, telat mikir alias telmi, atau paham juga masalah, tapi demi “uang receh”, maka dia berani maju tak gentar sampai titik darah penghabisan menghabisi lawan politik si tukang kompor
.
Jadi, kesimpulamnya, bahwa korupsi sebuah perilakuyang ada kaitannya dengan sejarah panjang negeri ini, bahkan sebagian orang mengatakan bahwa korupsi di negeri ini memiliki akar sejarah dan budaya yang begitupanjang, masih sejak zaman Majapahit. Memiliki kaitan dengan sistem politik biaya mahal. Ada yang mengkaitkan dengan percaturan global, gurita kapitalisme , budaya instan, dukungan dari masyarakat yang memiliki tabiat cari keuntungan dengan menempelkan hidupnya pada para koruptor, berharap tampias (percikan air) dari para elite bermasalah, mau hidup senang tanpa mau kerja keras, cukup menjadi broker, menjadi “pembela” demi mendekati hangatnya bara api kekuasaan, demi kepentingan diri sendiri dan kepentingan “bos”, kepentingan rakyat nomor sepatu. ***

oleh Usman Hasan pada 31 Agustus 2012 pukul 0:42

REFORMA AGRARIA BUKAN GAGASAN KOMUNIS


24 September 1960, lahirlah sebuah undang-undang  hasil karya anak bangsa  yang sadar bahwa diperlukan sebuah dasar berpijak menata masalah pertanahan, yang sebelumnya masih berpijak pada undang-undang pemerintah Kolonial Belanda  yang disebut Agrarische Wet (1870). Undang-undang karya anak negeri  itu dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 . Suatu Undang-Undang yang dipersiapkan secara matang selama 12 tahun. Tidak tanggung-tanggung, sampai lima kali silih berganti panitia, mulai dari panitia Jogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahdjo (1956), Panitia Sunaryo (1956) dan terakhir Panitia Sudjarwo pada tahun 1959, yang bekerja sama dengan panitia Ad Hoc DPR dan  team kerja dari UGM  merumuskan naskah baru yang dijadikan dasar oleh Departemen Agraria dalam penyusunan RUU yang diajukan  ke DPR pada tanggal 1 Agustus 1960.

Yang mensahkan UUP Agraria adalah Parlemen hasil Pemilu 1955, yang menurut banyak kalangan  sebagai pemilu paling jujur dan demokratis selama republik ini berdiri. Anggotanya dari bermacam-macam partai dengan berbagai aliran (Ideologi Politik). Partai Nasional Indonesia (PNI)—aliran Nasionalis—dengan azaz Marhaenisme , Nadhatul Ulama (NU) dan Masyumi dengan azas Islam, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Sosialis Komunis (tindak lanjut praktek berpartai kaum Marxis yang banyak dipengaruhi Sovyet pada masa itu), ditambah dengan partai-partai kecil lainnya dengan azasnya masing-masing.

Peridoe awal 1960-an sampai dengan tahun 1965 terjadi pergolakan politik mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Sukarno, UUP Agraria tidak dapat maksimal dilaksanakan disebabkan banyak hal, antara lain: pertama, banyaknya perlawanan dari segelintir orang  atau kelompok yang memang tidak senang dengan diberlakukannya UUP Agraria karena sangat jelas mengganggu kepentingan dominasi ekonominya (basis modal dan expansi bisnis). Kedua, disebabkan pemerintah memiliki kelemahan dalam soal data  yang menyebabkan pelaksanaan di lapangan lamban bagaikan gerak langkah kura-kura. Pra 1965, PKI memanfaatkan momen itu dengan melakukan aksi sepihak, mengambil alih tanah dengan membagikan kepada rakyat . Tindakan sepihak oleh PKI tersebut tentu mendongkrak popularitasnya. Sebagai partai politik tentunya tindakan itu lebih banyak memperhitungkan sisi keuntungan politik dengan menafikan sisi yang lain.

Pemerintahan Orde Baru dengan paradigma barunya yang berorintasi pada pertumbuhan dan pembangunan (terutama fisik) membuka ‘kran lebar-lebar’ bagi penanaman modal asing (PMA)  maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dan untuk memuluskan programnya, dikeluarkanlah  berbagai undang-undang seperti UU Penananaman Modal Asing, UU Kehutanan dan UU Pertambangan. UUP Agraria tidak pernah dinyatakan tidak menjadi acuan kebijakan, namun dalam prakteknya diabaikan ibarat barang rongsokan. Masyarakat takut membicarakan soal hak atas tanah  dikaitkan dengan UUP Agraria karena takut  akan dicap komunis atau sisa-sisa Komunis. Sengaja dihembuskan bahwa ‘Issue Reforma  Agraria’ adalah sebagai program PKI, stigmatisasi dalam rangka memperkuat hegemoni dan dominasi Orba.

Satu kebohongan yang sengaja dihembuskan oleh kalangan anti/kontra reforma agraria, adalah dengan pura-pura tidak tahu bahwa UUP Agraraia adalah produk parlemen Indonesia yang terdiri dari banyak partai, dimana masa itu PKI sendiri hanya memiliki 37 kursi, sementara PNI (urutan teratas perolehan kursi di parlemen), NU dan Masyumi setelah digabung memiliki ratusan kursi, apalagi di tambah partai kecil lainnya,antara lain : Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Perti, PSII dll.

 Bagi masyarakat kala itu, sepuluh kali lebih baik dituduh tukang santet, perampok, pencoleng dari pada dituduh antek-antek Partai Komunis Indonesia, dianggap sesuatu yang seram dan sangat menakutkan.

Untungnya masih ada intelektual kampus, para pakar Pertanahan di berbagai universitas terkenal di Jawa, antara lain  MP Tjondronegoro, Gunawan Wiradi yang tidak pernah luntur watak intelektualnya untuk menjelaskan duduk-perkara proses lahirnya UUPA 1960, walaupun menghadapi rezim berkuasa yang otoriter. Mereka dengan jujur dan berani mengatakan  kebenaran terkait masalah reforma agraria  yang menjadi esensi utama kalau memang berkeinginan mensejahterakan rakyat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. .

Pada sekitar tahun 70-an terjadi sengketa tanah di berbagai daerah yang tentunya terasa mengganggu stabilitas kemapanan pemerintahan orde baru, sehingga Suharto perlu menugaskan kepada Sumitro Djoyohadikusumo untuk mengakaji  secara imliah  persoalan agraria. Dan dikeluarkannya pernyataan pemerintah bahwa UUP Agraria masih tetap berlaku dan undang-undang itu bukan produk Komunis.  Walaupun kenyataannya pernyataan pemerintah hanya sekedar retorika kosong, karena terbukti UUP Agraria hanyalah menjadi pajangan dan tidak dilaksnakan sepenuh hati.

Belajar dari pengalaman negara lain yang sudah mengalami kemajuan seperti Jepang, Korea Selatan dan  India, negara-negara itu sudah melaksanakan reforma agraria. Jepang bahkan telah melaksanakan Reforma Agraria sampai dua kali secara tuntas. Tentunya tidak ada alasan bagi negara agraris seperti Indonesia mengabaikan Reforma Agraria. Sesuatu yang tidak masuk akal kalau hendak berbicara kesejahteraan petani  sementara penguasaan tanah oleh belasan juta penduduk hanya dibawah 0,5 ha dan jutaan lainnya tidak memiliki tanah yang realitasnya sebagai buruh tani atau petani penggarap, berbanding terbalik dengan ‘tuan tanah’ yang menguasai tanah yang luas  serta  jutaan hektar lahan garapan perusahaan perkebunan, pengusaha HPH, dan tambang—konsesi secara besar-besaran.

 SBY-JK dalam kampanye Pilpres tahun 2004 meneriakan kesejahteraan petani sebagai issue kampanye. Bahkan tidak ketinggalan menyentil juga Reforma Agraria. Sudah lumrah, Itu menjadi tabiat siapa saja  yang ingin merebut hati pemIlih dari petani demi menggapai kekuasaan.  Urusan apakah dapat ditepati atau tidak, itu soal belakangan. Tidak perlu memusingkan soal apa yang sudah menjadi  issue kampanye.  Janji tingal jani. Nati kalau ada kepentingan mau meraup suar petani, bikin janji lagi. Kata orang, masyarakat kita memiliki budaya lupa. Rupanya budaya lupa dari masyarakat dipahami betul oleh elite politik kita. Nanti kan kalau sudah dibujuk lagi dengan sumbangan kostum olah raga buat anak muda kesebelasan bola kaki, sumbangan semen buat mushola, menghamburkan baju kaos ditambah dengan kampanye  program yang menjanjikan, maka persoalan pasti akan  beres..  Apalagi dengan wajah ganteng menebarkan pesona bagaikan bintang film, pasti banyak lagi ibu-ibu yang yang jatuh simpati.

Yang perlu disadari  oleh kaum tani Indonesia, bahwa pengalaman sejarah telah memberikan bukti bahwa Reforma Agraria  yang hanya berdasarkan kemauan dan inisiatif  pemerintah adalah Refmorma Agraria yang tidak akan banyak faedahnya. Sebabnya, pada saat pemerintahan berganti dengan rezim yang paradigma pembangunannya telah berobah, maka secara otomatis Reforma Agraria akan tenggelam ditelan bumi. Contoh kongkrit : setelah pemerintahan Sukarno berganti dengan pemerintahan Suharto, Reforma Agraria dibuang di tong sampah. Sejak kejatuhan Suharto, sudah beberapa kali berganti pimpinan nasional, tetap saja Reforma Agraria dianggap tidak penting.

 Reforma Agraria yang ideal adalah Reforma Agraria yang berdasarkan inisatif rakyat atau dengan kata lain :  dengan upaya dan perjuangan dari petani melalui perjuangan membangun  kekuatan organisasI yang solid baik kekuatan secara politik (daya tawar) maupun kekuatan ekonomi , sehingga petani memiiliki daya kekuatan untuk  menggoalkan Reforma Agraria sejati. Tanpa Reforma Agraria, tidak akan terwujud kesejahteraan petani.

*Disari dari berbagai sumber
*Pernah dipublikasikan di Harian Suara Sulteng (2007
oleh Usman Hasan pada 30 Agustus 2012 pukul 14:49

Sapu Tangan


Kain ukuran sekitar 20 x 20 Cm itu disebut sapu tangan. Boleh dipilih sesuai dengan keinginan. Ada yang terbuat dari kain berkwalitas tinggi, ada pula yang terbuat dari kain katun.

Kegunaan sapu tangan itu banyak. Dalam cerita percintaan yang dikarang oleh penulis zaman dahulu, sapu tangan sebagai benda pemberian seseorang kepada sang kekasih. Seseorang yang terbawa perasaan rindu teramat sangat  akan mengambil sapu tangan pemberian kekasihnya, dibelai, dicium seolah-olah mencium kekasih tercinta.

Sapu tangan digunakan sebagai lap.Juga dapat dipakai sebagai penutup hidung ketika menghadapi debu yang bertebaran.  Dipakai juga untuk mengeringkan keringat yang bercucuran.

Ada kegunaan lain yang jarang diketahui orang, melainkan hanya oleh orang  tertentu saja yang teliti dan rajin mengamati dan tentu  oleh penggunanya.

Maksudnya, si pengguna sapu tangan  adalah tukang jual obat kaki lima.

Coba anda perhatikan. Tukang jual  obat selalu memegang sapu tangan.

Apa hubungannya antara tukang jual obat dan sapu tangan.Memiliki keterkaitan erat atau  dengan kata  lain, penjual obat tidak bisa dipisahkan dengan sapu tangan.

Apa sebabnya antara sapu tangan dan penjual obat tak dapat dipisahkan? Mungkin itu pertanyaannya ? Jawabannya begini : Obat yang dijual sekalipun hanya terdiri dari minyak kelapa dicampur pewarna tertentu, tapi dikatakan pula obat mujarab dari pedalaman Sumatra.Kayu dan ramuan yang diambil dari sembarang tempat, dikatkan pula obat kuat Pasak Bumi dari Kalimantan. Vitamin yang dibeli seharga seribu rupiah  di apotik, dikatakan pula sebagai obat paten dari daratan China.

Kemudian, sudah menjadi sesuatu yang alamiah, orang yang berbohong, kadang  dapat diketahui dari wajahnya. Kalau bohong sudah keterlanjuran, kadang tak dapat ditahan akan muncul ketawa kecil. Nah, dalam keperluan  itu lah seorang tukang jual obat selalu menyediakan sapu tangan ketika mengkampanyekan obatnya. Patut dijaga jangan sampai sudah kelewatan berbohong sehingga tak tahan menahan ketawa, maka sapu tangan dipergunakan sebagai penutup wajah dengan berpura-pura bersin.

 Ada sebuah cerita, seorang penjual obat penyubur rambut. Banyak photo tokoh-tokoh dunia yang dijejerkan diatas tikar. Tentu tokoh dunia yang berambut lebat, bukan tokoh dunia seperti Kruscove, Sukarno yang berambut botak.

Demi meyakinkan orang, sang tukang jual obat juga  memakai kumis dan jenggot palsu.

Tak disangka terjadi musibah kecil, si tukang jual obat lupa kalau dia memakai kumis dan jenggot palsu. Dia mengeluarkan sapu tangan menyapu keringat yang bercucuran diwajahnya sehingga  kumis dan jenggotnya copot.

Orang pada menyorakinya. Tapi, tukang jual obat tak kehilangan akal. Katanya lagi, begini saudara-saudara. Saya tak jadi menjual obat penyubur rambut, mungkin saudara tidak percaya lagi karena saya sendiri tidak memiliki kumis dan jenggot tebal. Sekarang saya mau menawarkan Madu Dayak Asli. Untuk lebih meyakinkan, dia mengeluarkan parang mandau dari tasnya

Tak ada berminat membeli, malahan orang tambah menyorakinya, tapi tetap dia tak berputus asa.

“Percayakah saudara-saudara kalau saya mengatakan bahwa saya memerlukan sedikit uang ongkos pulang dan pembeli nasi pelapis perut.” Kemudian dia mengeluarkan beberapa botol kecil dari tasnya. " Ini minyak kayu putih, Tidak perlu lagi saya membumbui dengan propoganda. Semua orang pasti mengenal minyak kayu putih

Orang pun iba hati dan percaya. Beberapa orang membeli jualannya. Sebahagian orang membeli hanya karena dorongan kasihan.

Tapi dasar tukang jual obat. Dia pun masih melanjutkan, “ saudara-saudara. Saya dan banyak penjual obat memang benar sering berbohong, tapi kami berbohong hanya karena sepiring nasi, sekedar menyambung hidup. Tapi itu .” Dia menunjuk ke arah sebuah baliho. “ mereka itu, kalau  berbohong bukan karena sepiring nasi, tapi demi ketenaran diri, kekayaan duniawi dan nafsu kekuasaan yang dibungkus jargon kerakyatan.”

Waduh, dasar tukang jual obat. Dalam ketersudutannya, tetap tak mau kalah, masih saja tak kehabisan bahan omongan.***  
oleh Usman Hasan pada 29 Agustus 2012 pukul 23:42 ·

KORUPSI KEPALA DESA



oleh Usman Hasan pada 29 Agustus 2012 pukul 13:42 


Tim Kejaksaan yang terdiri Kepala Cabang Kejaksaan Negeri  (Kacabjari) Moutong dan Staf Intel Kejari Parigi diruang kerja Bupati Parigi Moutong menyerahkan Rp 17,3 Juta  dana yang di korupsi Kepala Desa Sijoli Kecamatan Moutong.

Bupati Parimo mengatakan bahwa itu sebagai contoh  kepala desa lainnya yang menggelola ADD agar mendukung upaya Kejaksaan dalam upaya menegakan aturan.

Kacabjari Moutong  kepada wartawan mengatakan : bahwa pelaku korupsi ADD yaitu Kepala Desa Sijoli hanya diproses perdata. Awalnya masih dalam tahap penyeldikan, namun kemudan karena ada pengakuan dari sang Kades  untuk mengembalikan uang tersebut , maka kasus itu hanya diproses melalui Bagian Perdata  dan Tata Usaha Negara.

Itu uraian diatas adalah berita yang saya kutip dari Media Alkhairaat Selasa 7 Juni 2009.

Sebelum ada program pemerintah yang diturunkan di desa, sangat jarang kita mendengar ada Kepala Desa yang terlibat kasus korupsi, karena memang tidak ada dana yang bisa di korupsi.  Tapi setelah adanya berbagai program masuk desa , antara lain dana kompensasi BBM Rp 250 juta setiap desa, dana ADD (alokasi dana desa) yang dikelola langsung oleh kepala desa, maka ada sebahagian kepala desa yang terbelit kasus korupsi..

Apa yang dilakukan oleh Kacabjari Moutong menurut saya sudah sangat tepat, Memang benar kita hendak memberantas korupsi, tapi, ketika  Kepala Desa mengaku secara terus terang kemudian bersedia mengembalikan seperti yang dilakukan kepala desa Sijoli maka kebijakan yang dilakukan oleh Kacabjari Moutong patut dipahami sebagai langkah yang arif bijaksana.
Padahal, kalau saja pihak Kacabjari mau meningkatkan ke tahap penyidikan maka tidak ada halangan atau sesuatu hal yang patut dipermasalahkan.

Bupati Parimo mengatakan bahwa itu menjadi contoh bagi kepala desa lainnya.
Menurut saya, bukan hanya menjadi contoh bagi kepala desa lainnya, tapi juga menjadi contoh bagi Kacabjari lainnya , minimal bisa meniru apa yang dilakukan oleh Kacabjari Moutong.

Misalnya, di Kabupaten Tolitoli sudah beberapa  Kepala Desa yang meringkuk di penjara terkait dengan korupsi. Di satu sisi apa yang dilakukan oleh penegak hukum patut diacungkan jempol, sebab  sudah benar dari sisi penegakan hukum/ pemberantasan korupsi.

Tapi di sisi lain tentu ada pertanyaan yang bisa muncul. Kalau  pun pertanyaan-pertanyaan itu disampaikan bukan dalam kontek membela pelaku korupsi, apalagi hendak melemahkan penegakan hukum. Hanya sebuah sisi pandang  setelah mengamati realitas dan kebetulan ada dukungan referensi, yaitu  kasus di Moutong yang menjadi perbandingan.

Pertama, mengapa tidak ada kebijakan yang sama oleh Kacabjari di Tolitoli dengan Kacabjari di Moutong sedangkan kedua Kacabjari itu masih sebagai satu korps dan masih   berada di Republik yang sama..

Kedua, apakah tidak sekedar terjebak dalam pengejaran penyelesaian target dipandang dari jumlah kasus tanpa melihat sisi lain, antara lain, misalnya apakah itu kasus teri atau kasus kakap.

Ketiga, atau apakah memang tidak ada informasi dari masyarakat dan pers terkait kasus korupsi  lainnya, misalnya dugaan korupsi kakap yang sempat dimonitor  Kejaksaan.sehingga tidak ada pilihan lain selain hanya asyik dengan kasus belasan juta rupiah ? Keempat, pertanyaan tersebut diatas sesuai dalam kontek  aspirasi masyarakat yang menginginkan Kejaksaan sebagai institusi yang menegakan undang-undang  tanpa mengabaikan rasa keadilan..

Busana


Di-era Orde lama, setiap pertemuan resmi diwajibkan berbusana hitam putih, maksudnya, busana yang wajib dikenakan adalah celana hitam  dan kemeja putih. Lebih resmi lagi, kalau ditambah dasi. Boleh dasi kupu-kupu, boleh juga  dasi panjang.Tergantung kegemaran.

Dalam setiap pertemuan di-era Orde Lama, kita akan melihat pemandangan orang-orang yang memakai busana hitam putih, mulai dari bupati sampai pelajar. Tidak mewah juga tidak kumuh, bersih,anggun, berwibawa,  intelek - seperti itu kesannya.

Kecendrungan berbusana di-era Orde lama, dapat dipahami, terkait dengan kesederhanaan yang tidak lepas dari kondisi ekonomi negara kala itu. Ataukah ada faktor lain, itu tugas peneliti sosial budaya untuk menelusurinya.

Kecendrungan orang berbusana dalam setiap zaman berbeda. Perobahan itu terkait dengan masalah kompleks. Antara lain, masalah ideologi,budaya, ekonomi dan watak konsumen yang berobah setelah diserbu dengan tayangan iklan oleh produsen atau kaum pemilik modal.Pasti memiliki keterkaitan dengan pemasaran dan keuntungan perusahaan.

Di negara-negara sosialis,  sidang Kabinet dihadiri oleh menteri yang hanya memakai kemeja  dengan ditutupi jacket.

Iran yang negara Islam, Presidennya tidak mau memakai dasi, sebab beranggapan bahwa dasi itu busana barat.Habib Riziq dan pengikutnya memakai jubah dan pasti hal itu terkait dengan pernyataan identitas melalui busana.

Ketika sahabat saya naik haji, dia membawakan saya ole-ole jubah. Saya pikir, mau dipakai dalam kegiatan apa. Mau pakai demo, nanti apa lagi komentar orang. Kalau dipakai kerja , nanti pula dianggap berlebihan oleh teman-teman. Pakai ke masjid pun risih. Bukan sesuatu yang salah, hanya tidak biasa saja dan merasa canggung. Akhirnya, saya berikan saja kepada sahabat saya yang baru bergabung di Jamaah Tabligh. Dia senang sekali menerima pemberian saya.

Zaman sekarang diwajibkan pejabat memakai batik,  safari, jas, dasi, baju olah raga (walaupun seumur hidup tidak pernah berolah raga),  sesuai dengan kegiatan yang diikuti.

Wakil rakyat yang seumur hidup tidak pernah pakai dasi dan jas ketika dilantik diwajibkan memakai dasi dan jas.Terpaksa, walaupun gerah kepanasan dengan jas kedodoran dan pasang dasi miring

. Dalam acara seremoni diwajibkan memakai baju adat. Salah satu penyebabnya, dibalik penyeragaman itu kan ada proyek pengadaan, ada fee, ada keuntungan, walaupun memang ada faktor lain, misalnya kesopanan, budaya, kerapian dan sebagainya.

Sekolah pun mewajibkan seragam dan dipersyaratkan harus empat pasang sekaligus, padahal boleh kan membeli dulu satu pasang, kemudian kalau sudah rusak, membeli lagi.Tidak boleh dijahit sendiri, walaupun orang tua murid tukang jahit. Sebabnya? Ya sama, masalahnya, disitu juga ada proyek, ada kontraktor, ada keuntungan dan ada fee. Pokoknya politik busana yang berhubungan dengan anggaran.

Dalam sebuah pertemuan, ada beberapa orang barat yang hadir dan mereka tidak memakai dasi dan jas, berbeda dengan orang Indonesia yang semua dengan dasi dan jas. Itu pun mereka masih mengeluh kepanasan dalam ruang tanpa AC. Orang barat heran sebab orang Indonesia tahan dengan hawa panas. "Kalau di Eropah orang memakai jas, sebab disana harus melawan hawa dingin." Begitu komentar orang barat dalam kesempatan berbincang-bincang.

Ternyata soal berbusana bagi pejabat, PNS, Karyawan swasta, pelajar  bukan hanya terkait dengan penampilan, budaya, peradaban, hawa panas atau hawa dingin. Sangat kompleks, banyak keterkaitan dengan masalah lain, misalnya aturan, kewajiban,etnis, budaya,  formalitas protokoler, politik, ideologi, APBN,APBD, keuntungan, fee, kontraktor, proyek pengadaan. Banyak lah.***


oleh Usman Hasan pada 29 Agustus 2012 pukul 13:05 ·

BUPATI ORANG TIONGHOA


Di tahun 2005 seorang etnis Tionghoa bernama Ahok terpilih menjadi bupati di Belitung Timur dengan perolehan suara 37 %.  Ir. Basuki Tjahaja Purnama MM bernama asli Zhong Wan Xie lahir di Manggar pada tanggal 29 Juni 1966. Kemudian si Ahok itu mencalonkan diri pada Pemilukada DKI Jakarta (2012), berpasangan dengan Jokowi. Pasangan Jokowi – A Hok memenangkan putaran pertama meninggalkan empat pasangan lainnya.

Sejak Presiden Sukarno sudah ada beberapa menteri orang Cina. Di-era Suharto, Bob Hasan yang bernama asli The Kian Seng diangkat menjadi Menteri walaupun hanya menjabat selama dua bulan.Kemudian di-era reformasi ada menteri yang bernama Kwik Kian Gie yang dikenal sangat idealis, berbeda dengan Bob yang koruptor besar.

Maksudnya, tidak ada yang patut diherankan kalau ada pejabat dari etnis Tionghoa.
Tapi untuk jabatan Bupati, tentu  memiliki kekhususan tersendiri, dibandingkan
dengan jabatan menteri dan jabatan lainnya, sebab  seorang bupat dipilih langsung oleh rakyat,  bersentuhan langsung dengan rakyat.,

Itu sebabnya banyak komentar dengan terpilihnya Ahok sebagai Bupati.

Ada yang bilang bahwa A Hok bupati pertama dari etnis Tionghoa setelah zaman Mataram.
Ada juga yang memberi komentar  dengan nada pesimis, posisi orang Tionghoa itu berat di pemerintahan, “sana sini kenak”atau dengan kata lain “serba salah”.

Selama menjadi bupati, Ahok selalu membuka lebar kaca jendela mobil dinas Nissan Terano-nya. Ia tak segan menyapa setiap orang yang kebetulan berpapasan, entah itu pribumi, Tionghoa, Kristen, Islam, Konghucu, Budhis diperlakukan setara dan penuh hormat.

Menurut Ahok, dia tidak pernah menggratiskan pendidikan dan kesehatan. Pola "gratis-gratisan" tidak sehat menurut Ahok

Di bawah kepimpinan Ahok pula, belasan siswa berprestasi dapat dikirim kuliah ke Jakarta lewat program bea-siswa. Setiap siswa di subsidi Rp 1 juta perbulan.

Program jaminan pendidikan dan kesehatan dilaksanakan Ahok dengan menerapkan jurus dagang. Ia berhaslil meyakinkan PT. Askes, sehingga  dalam urusan premi kesehatan rakyat Beltim. Pemda hanya membayar separoh dari harga normal untuk menopang biaya asuransi kesehatan 50 ribu penduduk Beltim.

“Bupati memang harus tidak korupsi dan menggunakan anggaran negara untuk masyarakat. Jangan dikorup kayak bupati-bupati lain.” Demikian salah satu komentar warga masyarakat di Belitung

Sebelum Ahok, tidak ada bupati yang memotong biaya  perjalanan dinas dari Rp. 1 milyar per tahun menjadi seperlimanya. "Gila, hebat amat" kata seorang  wartawan Sinar Harapan. "Seandainya setengah dari 400 kepala daerah tingkat 2 seperti Ahok, beres negara ini", lanjutnya lagi.
Menurut para pegawai negeri Belitung Timur, Ahok sangat keras menerapkan disiplin. Mereka yang ketahuan "kongkow" pada jam kerja  langsung mendapat sangsi, ditahan kenaikan pangkatnya.

Di sisi lain, Ahok memberi honor untuk para ketua RT Rp 300 ribu, Ketua Dusun Rp. 640 ribu, dan Kepala Desa Rp. 2 juta per bulan. "ternyata cukup ya anggaran negara
kalau tidak dikorupsi oleh bupatinya", celoteh Asri dari Komnas HAM.

Keberpihakan dan prestasi Ahok selama menjabat bupati dihargai oleh Gerakan Tiga Pilar Kemitraan yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, KADIN dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara sebagai pejabat Negara anti korupsi.

Oleh majalah TEMPO, Ahok terpilih sebagai 1 di antara 10 tokoh yang mampu mengubah Indonesia.

Ternyata banyak mutiara terpendam di negeri ini. Khusus kontek lokal (Sulawesi Tengah)),yang akan menjadi Gubernur, Walikota, Bupati,  harus bisa digali, dicari tanpa kita tersekat dalam batas-batas pemahaman sempit, seperti kebangsawanan, etnis, gelar akademis. Boleh Bugis, boleh Jawa, boleh Tionghoa, boleh SI, boleh S2, boleh S3, boleh bangsawan, boleh non bangsawan.  Mantan preman pun boleh. Yang penting memiliki  moral kerakyatan , komitmen dan niat tulus pengabdian pada kemanusiaan yang universal. ***

*Disari dari berbagai sumber
*Tulisan ini pernah dipublikasikan (catatan pinggir) di Metro Tolis (2007). Dipublikasikan lagi di fb dengan perubahan seperlunya.

oleh Usman Hasan pada 27 Agustus 2012 pukul 22:54

PEJABAT DAN PENGUSAHA



oleh Usman Hasan pada 27 Agustus 2012 pukul 12:17 ·


Kalau seseorang datang menemui kiai, dapat ditebak apa maksudnya. hampir dapat dipastikan hendak menanyakan sesuatu atau  hendak meminta saran terkait masalah kehidupan.Kalau seorang mahasiswa datang ke dosennya,hampir dapat dipastikan mengenai masalah sekitar mata pelajaran di kampus.

Kali ini seorang pengusaha menemui seorang pejabat. Si pengusaha membawa sejumlah uang yang diisi dalam amplop besar..

Pengusaha : “Ini pak. Saya ini hendak menyerahkan in, pak. Sekedar bantuan, pak.” Si pengusaha berdiri dan menyerahkan amplop

Pejabat  : “Apa ini ? ” Tanya si pejabat

Pengusaha : Ya sedikit dana pak, ala kadarnya. Jangan dinilia dari sisi jumlah. Ini pemberian ikhas lilaihitaala sebagai tanda terima kasih karena proyek sudah selesai lancar dan beres.

Pejabat : Jadi, anda hendak menyogok saya ya. Ini namanya penyuapan. pelanggaran pidana. Sekarang saya bisa melaporkan anda ke penegak hukum sebab hendak menyogok saya.

Pangusaha :” jangan pak. maaf pak. Saya tidak bermaksud begitu. Hanya sekedar uang terima kasih pak. Ya saya sudah bapak tolong, apa salahnya saya menolong bapak. Begitu pak ” Begitu kata pengusaha sambil berkeringat dingin ketakutan.

Si pengusaha masih tetap berdiri. Si pejabat  menyuruh duduk kembali di tempat duduknya.Dia duduk, tapi masih tetap salah tingkah, sebab mata sang pejabat masih melotot.

Pejabat :” Anda ndak tahu kalau saya ini pejabat yang disumpah. Seorang pejabat yang disumpah tidak boleh menerima  pemberian dari siapa saja, apalagi dikaitkan dengan sebuah proyek.  Itu melanggar hukum. Bisa kenak pidana. Anda paham itu ?” Kata pejabat masih dengan suara tinggi dan mata melotot.

Si pegusaha hanya dapat tertunduk, takut dan salah tingkah. Pengusaha berulang-ulang meminta maaf kemudian dengan terbongkok-bongkok meminta pamit.

Pejabat : “Begini.” Kata pejabat melanjutkan. Anda masak sih hari gini masih ndak paham-paham. Kalau urusan yang beginian urus dengan isteri saya yang tak disumpah. Istri saya bebas karena ndak disumpah. Sudah, temui isteri saya untuk menyelesaikan urusan begitu. “

Pajabat memanggil istrinya dan meminta untuk menyelesaikan urusan dengan si pengusaha.

Pejabat : Nah, beres kan ? Yang gampang jangan dirumitkan. yang rumit harus digampangkan.
Si pengusaha pun pulang mengendarai mobil sambil bersiul-siul. Dia berkata dalam hati : memang banyak solusi, asal ada kemauan pasti ada jalan.

Senin, 04 Maret 2013

Pulanglah dengan Sejahtera dan Terimalah Berkat Tuhan


oleh Usman Hasan pada 27 Agustus 2012 pukul 3:43

Puluhan tahun silam  saya pernah melihat sebuah karikatur di koran. Dalam karikatur itu digambarkan seorang yang memakai jas,  posturnya tinggi besar – saking gemuknya sehingga nampak daging tebal terjuntai di leher

Orang yang digambarkan sebagai orang yang makmur itu berhadapan dengan sejumlah orang yang duduk di bangku. Wajah mereka simpang siur, tubuh kurus kering. Baju yang mereka kenakan tambal sulam. Kontras dengan penampilan orang pertama yang mengesankan kemapanan dan kemakmuran.

Apa yang mereka lakukan ? Rupanya orang pertama yang makmur itu adalah pendeta. Dia berdiri di mimbar kebaktian . Yang dimaksud sejumlah orang dengan baju compang camping, badan kurus dan wajah simpang siur adalah jamaah gereja.

Pendeta mengangkat kedua tangannya memberkati jamaahnya dengan ucapan : “pulanglah kalian dengan sejahtera dan terimalah berkat Tuhan.”

Apa sih pesan karikatur itu ? Soalnya karikatur itu tidak ada lagi penjelasan lain, selain gambar pendeta yang makmur dan jamaah yang papa.

Karikatur itu menurut saya, hendak menyindir sifat “serba akhirat’ yang dipahami oleh rohaniwan kita. Semua dipahami secara rohani saja. Padahal kan soal rohani itu berkaitan dengan soal jasmani juga. Mana boleh kita memahami “sejahtera dan berkat Tuhan “ akan menyelimuti orang yang miskin papa, baju compang camping, badan kurus kerempeng. 

Damai dan sejahtera seperti apa dapat dimaknai ketika ada warga negara yang hak-haknya dilanggar. Kekayaannya dilarikan keluar negeri, sementara dia hidup miskin. Apakah masyarakat akan mendapatkan sejahtera dan berkat Tuhan ditengah negara yang korupsinya menggila menjurus pada pemerataan korupsi, bukan pemerataan kesejahteraan rakyat. Apakah kesejahteraan dan berkat Tuhan akan menyelimuti masyarakat ketika wajah hukum di Indonesia seperti sekarang ini. Bagaimana pula berkat Tuhan dan kesejahteraan dapat dipahami ketika ada yang sholat Ied dengan baju yang paling bagus, memakai minyak harum yang mahal, sementara itu ada yang tak sempat melaksnakan sholat Ied , tentu dengan berbagai alasan, ya.. salah satunya kemiskinan. Mungkin hanya memiliki pakaian yang ada di badan saja. Tidak memiliki kain sarung.

Teman saya bilang, bahwa karikatur itu kan dibuat oleh mereka yang menjelek-jelekan agama, mendiskreditkan agama, anti agama.

Boleh saja kita berpikir seperti pendapat  teman saya itu, tapi kan tidak ada salahnya hal itu menjadi kritik oto kritik bagi kita orang yang beragama.***