Selasa, 12 Maret 2013

BARANG SIAPA BERAMBUT GONDRONG MAKA DIA ADALAH HANTU KUBURAN

Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa judul tulisan ini terlalu berlebihan.  Sungguh terlalu. Orang berambut gondrong disamakan dengan hantu kuburan.

Maaf ya pembaca, utamanya yang berambut gondrong  seperti saya.Judul postingan ini bukan kata-kata saya. Hanya dikutip .

Ada seorang Uzatd terkenal di Banjarmasin.  Uztad Rafii Hamdi namanya. Beliau secara rutin membawakan ceramah agama di Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Nama Sabilal Muhtadin diambil dari karya Ulama Besar Indonesia, kebetulan kelahiran Banjarmasin. Nama ulama besar itu Syekh  Arsyad Al Banjari (mohon maaf kalau penyebutan nama ulama besar itu salah dan tidak lengkap)

Dalam sebuah  kesempatan ceramah, Rafii Hamdi menceritakan mengenai seorang pemuda berambut gondrong datang ke Masjid. Dia menempati saf paling akhir. Sayang sekali, sebab itu kali terakhir si pemuda  gondrong datang ke Masjid. Pasalnya, dia sangat tersinggung atas penyampaian Uztad bahwa seseorang yang berambut gondrong disamakan dengan hantu kuburan.

Jadi, cerita dari Uztad Rafii Hamdi di tahun 80-an sangat membekas dalam memory saya. Oh ia, tentu Uztad Rafii Hamdi mengucapkan kalimat diatas tidak berdiri sendiri. Itu hanya salah satu kalimat dari keseluruhan ceramah sang Ustad. Yang hendak dikatakan oleh Uzatd Rafii, bahwa ada tahapan tertentu yang harus dipahami oleh seorang Muslim, utamanya masalah-masalah sosial. Tidak boleh sembarang ngomong, sekalipun dalam sebuah ceramah agama.  Si pemuda berambur gondrong itu kan ibarat ayam,  harus dikondisikan dulu menjadi jinak. Sesudah melalui proses penjinakan, baru disampaikan apa yang menjadi pendapat ideal kita, itupun harus dengan bahasa yang lembut dan dipilih kata-kata yang pas.  Nah, ketika si pemuda disemprot dengan kata-kata tajam begitu, buktinya dia menjauh, liar. Tujuan dakwah tidak tercapai.
Itu uraian diatas soal dakwah. Tapi dapat pula ditarik dalam kontek lain, misalnya dalam soal FB, atau berlalangbuana di dunia maya. Kadang ada postingan yang “berat”, memerlukan diskusi panjang, memerlukan energi pikiran, pokoknya serius lah. Nah, di FB itu kan saya anggap forum sangat umum. Ketika hendak berdiskusi soal berat-berat, saya pikir ndak kenak. Bukan ndak boleh, hanya ndak pas saja. Itupun hanya pendapat saya. Mungkin ada yang berpendapat lain, ya ndak apa-apa.

Kalau hendak membahas yang “ berat”, ya pilih blok yang serius, salah satunya “ Indo Progres” misalnya. Disana tidak sekedar menandai “menyukai”, tapi terbuka  perdebatan tajam, asal jangan sampai baku tantang berantem.

Juga dapat ditarik dalam kontek komunitas, berorganisasi. Saya kadang pusing juga. Setiap dikirim teman keluar daerah, setelah pulang, saya merasakan ada yang “aneh”, dalam sikap, gaya bicara, terutama pendapat-pendapatnya. Sebenarnya sih ada nilai positifnya, karena ada pendapat baru, ada pencerahan pemikiran. Kalau didiskusikan secara bagus, pasti ada nilia positif.  Namun kalau tak ditempatkan dalam posisi tepat, justru menimbulkan masalah. Kadang saya menangkap kesan, seolah-olah kita ini, maksudnya

“saya” sudah tidak ada benarnya.

Untung saja saya masih dapat mengimbangi. Lagi-lagi soal ceramah Uztad Rafii Hamdi sang idola saya.  Sang Uzatd menceritakan mengenai sebuah keluarga yang mengirim anaknya bersekolah ke tanah Jawa ( ini kan cerita zaman dahulu, dimana kebanggan besar ketika ada orang tua memiliki kesempatan menyekolahkan anaknya di tanah Jawa,karena kondisi tempo doeloe yang memang universitas terkosentrasi di Jawa).

Anak yang bersekolah ke Jawa pulang kampung. Kemudian menimbulkan masalah. Terjadi konflik antara anak dan orang tua. Pasalnya, setiap subuh pukul empat, masih enak-enaknya tidur, si anak sudah menggedor-gedor pintu kamar kedua orang tuanya, menyuruh orang tuanya sholat. Karena dilakukan setiap subuh oleh si anak, ayahnya agak jengkel juga.

Ayah : Kamu ini saya sekolahkan jauh-jauh sampai ke tanah Jawa, eh pulang malahan tambah kurang ajar.



Anak : apanya yang kurang ajar ayah. Saya ini kan hanya menyampaikan kebaikan, mengingatkan ayah untuk sebuah kemanfaatn. Sholat itu perintah Allah .

Ayah : hanya sanggup menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, menuju kamar mandi sambil bergumam : “nasib... nasib. Waduh tidak gampang menyekolahkan anak. “

Dari dua cerita Uztad diatas, ada sedikit persamaan. Ada makna yang dapat diipetik. Makna apa?
Pembaca sendiri yang boleh menyimpulkannya. Boleh jadi setiap orang berbeda dalam memaknainya.***

oleh Usman Hasan pada 15 September 2012 pukul 21:51 ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar