Senin, 04 Maret 2013

POLITIK PILEK


oleh Usman Hasan pada 26 Agustus 2012 pukul 10:49

Pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan kecil berpenduduk hanya sekitar 500 ribu jiwa. Alamnya sangat kaya dengan hasil emas, batu bara, nikel, kayu dan lautnya cukup luas dengan beraneka ikan dan biota laut lainnya.

Walaupun hanya sebuah kerajaan kecil dengan wilayah kekuasaan yang tidak begitu luas, tapi kerajaan itu bernama Besar. Kurang jelas sebab musabab sehingga kerajaan itu dinamakan Besar. Dari sisi Pendapatan Asli Kerajaan (PAK) tidak terbilang besar.
Kalangan yang disebut cerdik pandai, intelektual atau apapun sebutannya tidak juga dapat dikategorkan memliki pikira-pikiran besar. Paling pikiran-pikiran kerdil, itu pun sulitnya mengimplementasikan dalam praktek nyata.

Eksekutifnya paling berpikir bagaimana diri dan kelompoknya eksis. Legislatifnya, kalau kepentingannya terusik,  maka dia akan vokal sekali. Matanya merah melotot, lehernya akan kencang seperti kawat dan mulutnya berbusa seperti rinso. Kalau kepentingannya sudah terakomodir, maka wajahnya jadi romantis,  suaranya akan menjadi merdu dan senyumnya akan berhamburan.

Yudikatifnya ?  Yang namanya yudikatif dimanapun dan di zaman apapun tetap saja sama tugas dan fungsinya,  pasti terkait dengan penegakan hukum. Kala itu, yang bermodal dilindungi, yang kantong kempes disikat. Kalau istilah sekarang ini, tebang pilih.

Wartawannya ? Seperti sekarang, juga dianggap sebagai pilar ke empat. Tapi pers kala itu masih sederhana. Paling berita ditulis dengan tangan kemudian ditempel ditempat-tempat umum.  Rupanya dahulu kala  sudah ada juga istilah “pending berita dan membangun bargaining".

Kala itu, sudah ada juga kelompok penekan, pemerhati atau apapun istilahnya. Kira-kira kalau di-era sekarang ini, disebut LSM. Kalau yudkatif dituduh orang tebang pilih, kelompok penekan itu dituduh tebang sorot. Artinya, walaupun korupsi nampak bagaikan  bulan purnama, maka dia pura-pura tidak melihat, memalingkan wajah,  kalau kebetulan orang itu masih keluarganya, kelompoknya, kliknya,  apalagi sama-sama satu bendera partai politik.  Dan lagi, mereka itu, konon katanya kelompok yang pandai mencari kesalahan orang dan sangat kritis, tapi minim memberikan  solusi.

Generasi mudanya seperti apa ?  Nampaknya tak ada harapan. Sudah masuk lumpur budaya hedonis dan instant. Mendambakan kesenangan duniawi, kesuksesan dan kejayaan, tapi enggan bersusah payah mengeluarkan keringat dan berjuang  seperti watak generasi terdahulu.

Rajanya bagaimana ? Itulah yang menjadi pokok persoalan. Bukankah yang namanya raja adalah penentu maju mundurnya dan hitam putihnya kerajaan.   

Suatu ketika  raja sakit. Sakit sang raja hanyalah pilek biasa ditambah ada sedikit demam malaria. Yang sangat mengganggu, sebab dari tubuh sang raja mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat hidung. Hanya permaisuri yang berani mengatakan bahwa dari tubuh sang raja mengeluarkan bau busuk, itu pun mendapat dampratan sang raja.

Dipanggilah tiga tokoh masyarakat untuk ditanyai. Tokoh pertama menghadap, kemudian sang raja bertanya, apakah badan saya  berbau busuk ?

“Ampun tuanku. Benar,  berbau busuk.” Maka sang raja memanggil algojo untuk segera mengeksekusi mati orang itu.

Orang kedua menghadap, kemudian raja mengajukan pertanyaan yang sama seperti kepada orang pertama.

“Ampun tuanku, baginda berbau harum.” Kata orang kedua.
“Bohong kamu.” Sang raja segera memanggil pengawal agar orang pembohong itu juga dihukum mati.

Menghadap orang ketiga. Raja mengajukan pertanyaan yang sama.

Sambil menutupi hidung, sesekali batu-batuk kecil, orang itu menjawab, ampun tuanku, sekali lagi ampun tuanku, hamba menderita pilek sehingga tidak dapat mencium apa-apa. Akhir cerita, orang ketiga yang pilek itu selamat dari hukuman sang raja.

Seperti itu kisahnya. Orang pertama sangat jujur, mengatakan apa adanya. Resikonya hukuman mati. Orang kedua pembohong besar. Berbau busuk, dikatakan pula berbau harum. Konsekwensinya juga sama, hukuman mati. Yang otak encer dan sangat cemerlang adalah orang ketiga. Dia tidak mencium apa-apa, sebab hidungnya tersumbat gara-gara pilek. Mana boleh orang pilek dilarang, kan tidak ada undang-undangnya. Hanya dia yang selamat dari hukuman mati sang raja.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar