Senin, 04 Maret 2013

POLITIK INGUS


Saya melakukan dialog imajiner dengan seseorang. Bukan dengan tokoh masyarakat, bukan dengan politisi kawakan, bukan dengan pejabat penting, tapi dengan seorang pemulung.

Ketika saya tanya berapa umurnya, di sendiri ndak tahu. Apalagi tanggal lahirnya., tapi menurut perkiraaan saya dia itu berumur sekitar 10 tahun.  Sekolahnya hanya sampai kelas dua SD. Ayahnya pemulung, dia pun melanjutkan profesi ayahnya yang sudah meninggal. Dia membantu ibunya- sama-sama menjadi pemulung demi dua adiknya yang masih kecil.

Sementara saya wawancara, ibunya yang berambut  pirang emas duduk memandang kami sambil senyum-senyum kecil. Sementara  wawancara ada yang sangat mengganggu dan membuat saya jijik karena ingusnya meleleh terus . Itu sebabnya saya menyuruhnya agar  membuang dulu  ingusnya.

Dia sedikit menolehkan wajahnya. Saya menangkap dari raut wajahnya, bahwa ada rasa tak suka dengan permintaan saya yang bernada perintah.

Saya mengeluarkan uang Rp 10  ribu dari kantong celana  dan menyerahkan kepadanya. Dia dengan cepat menjulurkan tangannya hendak  mengambil uang yang saya sodorkan itu., tapi sebelumnya saya suruh lagi agar dia membuang ingusnya.

Dia menerima uang pemberian saya dan melaksanakan apa yang saya maksud, tapi dia tidak buang semua, masih ada yang tertinggal. Padahal maksud saya agar dia membuang semuanya.

Karena dia tetap menolak, sehingga saya pikir anak ini agak susah diatur. Padahal kan apa yang saya suruh itu demi kebaikan dia, bukan untuk semata-mata  kebaikan saya.

Apa boleh buat. Saya tidak mau lagi menyuruh dia membuang semua ingusnya, hanya saja saya mengajukan pertanyaan , apa alasannya membuang ingus dengan sistem menyicil begitu,  padahal kalau dibuang semuanya, apa sih susahnya 

“Ingus itu politik saya.” Kata pemulung cilik itu .

Saya belum paham apa maksudnya. Juga saya bingung, sedikit kaget dengan kata-katanya yang baru dia ucapkan itu.

“Maksudnya kamu apa ? ‘ Demikian saya bertanya dengan agak penasaran.

“Ia pak. Bapak beri uang saya barusan kan gara-gara ingus saya. Jadi kalau semua ingus saya buang,  kemudian apa persediaan  untuk sebentar nanti.Itu namanya saya kehilangan kekuatan politik. Ingus saya itu lah politik saya” Demikian kata pemulung cilik dengan suara agak nyaring .

Saya terperangah mendengar ucapannya. Saya menggaruk-garuk kepala saya yang tak gatal. Saya menatap wajah pemulung itu dalam-dalam. Sepertinya saya tak percaya kalau ucapan itu keluar dari seorang yang mengakunya hanya sekolah kelas dua SD.

“Maksud kamu ? Coba teruskan, saya mau lebih jelas.” Demikian saya bertanya dengan maksud lebih memberikan kesempatan dia bicara.

“Begini pak. Yang ada politiknya kan bukan hanya bapak-bapak diatas sana. Itu ! “ Demikian dia menunjuk sebuah baliho caleg yang terpampang  persis menghadap ke kami.

Lanjutnya lagi, “ mereka kan itu pakai politik untuk meraup suara orang tua saya, kakak saya – pokoknya kami semua pemulung. Politik mereka itu namanya politik meraup suara dengan  alasan demi kepentingan rakyat. Apa niatnya memang begitu, apa betul, apa akan ditepati – entahlah pak, Tuhan saja yang tahu persis.

“Jadi, politik kamu apa ?” Demikian tanya saya. Saya ingin dia bicara lebih rinci.

“Politik saya adalah politik sesuap nasi, pak . Dan alat politik saya, salah satunya adalah ingus saya.”

Waduh, sudah... sudah..... saya mengakhiri wawancara. Saya pikir, dari tadi justru lebih banyak hanya soal ingus saja yang jadi masalah dan pokok bahasan. Saya pamit sambil bergumam dalam hati, “ada juga ya pemulung cilik yang ngomongnya model begitu. Canggihnya luar biasa, sampai soal ingus pun dijadikan komoditas politik.  Anak kecil dengan  gaya omongan orang dewasa,  sinisnya  tak kepalang tanggung,   tajam bagaikan sembilu. Saya mengaku kalah  dengan ketajaman kata-katanya.

Siapa pula  yang membina dan mengajari dia. Dengan siapa dia belajar  strategi politik yang jitu.    Dan banyak lagi pertanyaan terkait pemulung cilik itu  yang muncul dalam benak saya. ***

Usman Hasan pada 24 Agustus 2012 pukul 0:38


Tidak ada komentar:

Posting Komentar