Senin, 11 Maret 2013

SEKILAS MENGENAI TAN MALAKA


Saya malu, merasa   sangat kecil dan tidak  ada artinya mengaku  sebagai aktifis setelah membaca riwayat hidup Tan Malaka. Saking hebatnya tokoh Tan Malaka sehingga sejarawan asing (Harry Poeze) bekerja puluhan tahun hanya untuk menyusun biografi almarhum sebanyak 2194  halaman dan diakui sebagai biografi terbesar di Indonesia. Kalau dikumpul semua biografi yang pernah ditulis sejarawan tentang Tan Malaka, maka jumlahnya lebih 3000 halaman 

 Tan Malaka masih berumur 25 tahun, dua tahun setelah pulang  dari study di negeri Belanda, mendirikan sekolah di Bandung dan Jogyakarta. Bukan seperti anak muda sekarang ini yang bisanya hanya mengurus akta notaris lembaga anti korupsi tapi nyatanya korupsi semakin menggila.

Karena dianggap membahayakan pemerintah Kolionial sehingga Tan Malaka dibuang ke negeri Belanda. Di Belanda Tan Malaka tetap berjuang bagi kemerdekaan bangsanya. Dan Tan Malaka melalangbuana sampai Berlin, Moskwa, Amoy, Syanghai,Kanton, Manila,Saigon,Bangkok,Hongkong,Singapura, Rangoon dan Penang. Semua dilakukan dalam bingkai cita-cita besar untuk kemerdekaan bangsanya. Sering tan Malaka mengalami kesulitan keuangan. Jalan keluarnya, Tan Malaka bekerja serabutan,a sal bisa melanjutkan perjuangan.  Berbeda dengan aktifis zaman sekarang yang hanya keliling Salumpaga, Dampal, Morowali,  Palu, sekali ke Jakarta, kemudian sudah menganggap diri  aktifis “hebat”

Tan Malaka pejuang Asia yang hanya dapat disejajarkan dengan Yose Rizal (Phlipina) dan Ho Chi Minh (Vietnam). 

Tan Malaka adalah tokoh pemikir sekaligus eksekutor gagasan-gagasannya. Idea-ideanya cemerlang lahir di dalam penjara atau ditengah kekejaman pendudukan Jepang
Buku Madilog (Materialisme Dialektika Logika) ditulis Tan Malaka di Jakarta (Kalibata) hanya dengan penerangan lampu botol. Kalau kehabisan bekal makanan, Tan Malaka bekerja jadi kuli bangunan. Berbeda dengan elite negeri sekarang ini. Sudah tersedia fasilitas canggih, tapi miskin karya tulis. Kalau ngomong suara terbanyak, dapil, baliho, paling  nomor satu. Kalau disuruh jadi tim sukses bupati, gubernur, presiden, dia akan laju seperti pesawat. Kalau disuruh membela petinggi bermasalah hukum, demo kesana kemari masuk keluar kantor penegak hukum, dia akan bersemangat, kalau perlu maju terus pantang mundur sampai titik  darah penghabisan

Tan Malaka sangat tidak sepakat dengan rencana pemberontakan PKI tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo Desember 1925).
Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927. Kemudian ketika sudah kembali dari luar negeri, pada tahun 1948 Tan Malaka mendirikan Partai Murba yang kemudian berfusi bersama PNI, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik dalam PDI pada tahun 1973.
Suatu kesalahan pemerintah Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru tidak setuju atas pemberontakan PKI tahun 1926/1927, ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan Partai Murba yang dia dirikan dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Sejarawan Poeze menemukan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa, dimana Tan Malaka menolak tulisan Efimova  “ Who Gave Instruction to The Indonesian Communist Leadr Musso in 1948” yang cenderung menganggap Musso bergerak sendiri tanpa arahan Rusia. Selama ini dikesankan bahwa itu adalah gerakan lokal yang diangkat Sukarno – Hatta sebagai peristiwa nasional agar RI mendapatkan dukungan internasional, terutama dari Amerika Serikat. Padahal, menurut Poeze. Pada masa itu hierarki dalam partai Komunis sangat kuat sehingga mustahil kegiatan lokal di Madiun tanpa restu politibiro PKI.

Demikian sekilas mengenai Tan Malaka yang mati ditembak tahun 1949,  diangkat sebagai Pahlawa Nasional oleh Pemerintah RI tanggal 28 Mart 1963.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang  selalu mengenang dan menghormati jasa para pahlawannya. Mengenang dan menghormati tentu dalam makna yang positif, dalam arti menyerap  roh dan semangat kerakyatan yang mereka miliki.

*Disari dari tulisan Asvi Warman Adam (Ahli Peneliti Utama LIPI) yang dimuat di Kompas , Senin, 3 Mart 2008. 

oleh Usman Hasan pada 3 September 2012 pukul 19:06 ·


Tidak ada komentar:

Posting Komentar