Jumat, 08 Maret 2013

Bohong


Ulama, sastrawan, pujangga, wartawan Buya Hamka yang sangat dikenal, dikenang dan dicintai rakyat Indonesia pernah menulis sebuah buku dengan judul pendek dan sederhana “ Bohong Didunia “ . Dengan sangat lincah dan menarik Buya Hamka menulis soal bohong, dan  pengarang produktif itu dapat mengulas soal bohong  menjadi sebuah buku yang lumayan tebal.Menurut Buya Hamka, sumber pertengkaran, kekacauan, kejahatan didunia ini adalah bohong.

Isteri berbohong kepada suami, katanya pergi arisan, padahal menemui PIL (Pria Idaman Lain). Demikian sebaliknya, suami membohongi isteri, katanya ada rapat, ternyata lagi indehoy dengan WIL ( Wanita Idaman lain). Terjadilah pertengkaran, menumpuk menjadi permusuhan, kemudian berujung naik ke pengadilan minta cerai. Yang menerima dampak negatif adalah anak-anak.

Anak bohong kepada orang tua, katanya pergi kuliah di Makasar. Ternyata lebih banyak keluyuran dari pada masuk kampus, lebih banyak pacaran dari pada belajar. Sawah terjual, rumah terjual, harta berharga terjual. Sang anak tidak menyelesaikan kuliah. Tidak berhasil apa yang jadi mimpi orang tua supaya anaknya sukses dalam study. Hanya keberhasilan membawa isteri dan anak bayi yang diboyong kerumah orang tua di kampung. Cita-cita kandas, orang tua kecewa, harta habis,  anak tidak berhasil menyelesaikan kuliah.

Anggota Legislatif  bohong kepada konstituen atau secara lebih luas,  bohong kepada rakyat. Katanya mau memperjuangkan rakyat, memperhatikan nasib rakyat.Rakyat ke dewan, para wakil-wakilnya tidak ada satupun menunjukan batang hidungnya . Jangankan mau memperjuangkan rakyat, menerima saja enggan, atau takut ? Kalau takut, menjadi pertanyaan, apa yang ditakutkan? Bukankah rakyat tidak membawa pentungan, apalagi senjata api.

Jadi pejabat eksekutif, idem dito alias sama. Katanya mau mensejahterakan rakyat, ternyata hanya mensejahterakan orang-orang dekat. Entah dekat secara keluarga, dekat sebagai  teman, dekat sebab satu partai, dekat sebab menjadi tim sukses. Itu bohong juga namanya.

Jadi pejabat yudikatif juga bohong dan menyalahi sumpah jabatan. Katanya mau menegakan keadilan, ibarat dewi themis pemegang neraca. Ternyata kerjanya hanya membuka diri menerima suap.

 Bukan hanya itu. Masih ada lagi. Jadi LSM juga bohong. Bawa rakyat aksi, protes illegal looging, protes reklamasi pantai, sementara itu mulutnya menganga minta suap, telpon genggamnya dihidupkan siang malam non stop menjaga kalau-kalau orang-orang bermasalah menghubunginya bikin negoisasi. Belum kering keringat rakyat yang dibawa aksi, para petinggi LSM sudah meluncur makan ikan bakar dengan orang bermasalah yang di demo itu.  Lembaran Sudirman mampu menutupi idealisme para aktifis pejuang rakyat. Petinggi LSM berkibar, pengikut  demo  terpuruk.

Jadi wartawan juga bohong. Bikin berita sekedarnya. Asal sudah sekali muncul . Sesudah itu tidak ada lagi tindak lanjut. Di pending, istilah trend, bikin bargaining.

Lalu, kalau sudah memang separah itu, bagaimana pula?. Seperti kata orang, hanya perbuatan oknum. Masih ada yang baik, seperti sebuah ungkapan populer, mangga dalam keranjang tidak semua busuk.Mana yang baik itu yang diambil.  Kalau semuanya busuk ? Ya ndak usah diambil, dibuang semuanya.. Gampang kan? ***

oleh Usman Hasan pada 31 Agustus 2012 pukul 15:01 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar