Indonesia Negara yang memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Tidak heran sejak berabad-abad lampau negeri ini menjadi incaran bangsa asing. Sebahagian besar pembiayaan negeri Belanda diambil dari kekayaan negeri jajahannya Indonesia (Hindia Belanda). Indonesia yang kaya raya mampu menghidupi negeri Belanda selama berabad-abad kontras dengan kenyataan dimana Negara tidak mampu mensejahterakan rakyatnya sendiri
Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, hutan kita masih relatif utuh, belum dieksploitasi secara besar-besaran. Dan itu berlanjut sampai di-era kepemimpinan Sukarno. Pasalnya Bung Karno memiliki orientasi pembangunan yang tidak secara sembrono melakukan eksploitasi kekayaan alam.
Setelah kepemimpinan nasional dipegang Suharto yang memiliki paradigma pembangunan dengan menitikberatkan pada kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi maka dibukalah “kran” lebar-lebar terhadap penanaman modal asing dan modal dalam negeri. Dan kebijakan itu dilanjutkan oleh rezim Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Undang-undang pertama yang dikeluarkan oleh Suharto adalah UU Penananaman Modal Asing (1967) kemudian menyusul UU Kehutanan .
Pada awal Orde Baru, pejabat tinggi sipil dan militer yang mengelilingi Suharto berlomba-lomba mendapatkan secarik kertas (lisensi) Izin Pemilikan Hutan (IPH). Hutan di kapling pejabat yang merangkap jadi calo alias broker. Masing-masing berebutan mendapatkan lisensi, ada yang puluhan ribu , ada yang ratusan ribu bahkan ada yang mendapatkan jutaan hektar. Paling pertimbangan Pak Harto : “ sebab mereka adalah orang-orang yang telah banyak berjasa, dengan segala pengorbanan luar biasa telah berjuang merebut kemerdekaan. Apa sih salahnya mereka itu diberi juga penghidupan ? Sedangkan tokoh Permesta yang dikenal mengangkat senjata melawan republik , seperti : Sumual, Walandouw, Pesik, Mogot (Suwal Pesmo) masih diberikan konsesi hutan , apalagi Jendral-Jendaral yang loyal dan masih aktif. Masak cuma pengusaha saja yang dapat menikamti hasil kemerdekaan “. Begitu kira-kira jalan pikiran Suharto yang begitu pengertaian, arif bijaksana memikirkan anak buahnya yang telah begiitu besar jasanya.
Hanya dengan bermodalkan ludah, para pejabat tinggi itu mendapatkan secarik kertas (lisensi). Sementara eksploitasi hutan secara besar-besaran itu pasti memerlukan padat modal dan teknologi. Apalagi di kala itu sumber daya manusia kita masih sangat minim. Bagaimana caranya ? Tentu mudah saja. Sepertii sebuah ungkapan yang populer kala itu : “ semua mudah diatur”. Dengan modal secarik kertas (lisensi), langsung saja undang modal asing dari Jepang, Korea, Taiwan, Amerika. Beres! Orang asing bawa dolar, alat berat sekaligus tenaga akhli. Teken kontrak kerja. Pejabat alias broker alias calo tinggal menerima komisi sekian persen, keuntungan bangsa asing melimpah dan di boyong kenegeri asalanya, bangsa sendiri mendapat keuntungan ala kadarnya dan ujung-ujungnya hutan kita menjadi gundul. Itulah sejarah eksploitrasi hutan kita sejak akhir tahun 60—an.
“ Saya membaca postingan anak-anak muda yang bergabung di JATAM SULTENG. Mereka sangat peduli terkait ekspolitasi sumber daya alam secara berlebihan dengan mengorbankan rakyat kecil, bahkan pihak polisi kentara sekali sangat memihak pihak pemodal. Mereka seakan berteriak ditengah hutan belantara, suaranya nyaring tapi nyaris tak terdengar. Mungkin saja pemangku kebijakan kita yang bebal itu, sudah tuli. Masalahnya ? Sangat jelas, bahwa kekuasaan sejak awal pemerintahan Orba dan dilanjutkan sampai pemerintahan era reformasi, memang memihak pemilik modal. Kalau memihak pemodal, ibarat memilih kain pel yang kalau diperas ada mengandung air. Memihak rakyat sama dengan memilih sabut kelapa kering, diperas tetap saja tidak ada airnya alias kering.
Kata teman saya, ekspolitasi sumber daya alam kita ini masih tak bergeser dari pola yang dilakukan Orba. Komentar saya : Ya… boleh jadi bung. Sebab yang namanya dahulu kala alias puluhan tahun lalu, hakikatnya sama saja dengan sekarang ini. . Kenapa sama saja, karena manusia yang dahulu itu sama juga dengan manusia yang sekarang, sama halnya buah kelapa sekarang ini masih saja sama dengan buah kelapa zaman dahulu kala.. Atau dengan kata lain tidak pernah diganti jenis dan bentuk manusia dengan jenis dan bentuk yang lain. Masih sama memiliki dua kaki, dua mata, satu kepala dan keinginannya juga sama. System juga sama, orintasinya sama, kecendrunganya sama. Semua berhamba pada kepentingan modal dan digerakan oleh para broker alias calo yang memiliki kiblat yang sama, memiliki jaringan kuat yang kepentingannya bagaiman hendak meraup rupiah sebanyak-banyaknya. Kalau ada perbedaan, paling sekarang agak demokratis, ada pemilihan langsung bupati sampai presiden, ada MK, ada KPK, ada LSM yang ribuan jumlahnya dan ada parpol peserta pemilu yang berjumlah pulahan dan parpol bukan peserta pemilu dengan jumlah ratusan. Kalau dahulu tidak ada istilah seperti sekarang, misalnya : Transparansi, reformasi birokrasi, partisipasi, akar rumput, top down, botom up dan berbagai istilah yang memusingkan kepala. Dan perbedaan lain, sekarang orang bebas mengkritikk, demo, berteriak sampai leher bertambah panjang, ludah terpancar-pancar dan urat leher muncul seperti kawat. Kalau demo seperti itu dilakukan pada zaman Orba, pasti sudah berurusan dengan Laksus”. Demikian penulis bicara panjang lebar kepada teman yang cuma memanggut-manggutkan kepala.
“Jadi, gimana pak? “ Tanya teman saya. Dia agak bingung
Jawab saya : ya politik dagang hutan. Pokoknya masih sama saja dengan pola Orba. Banyak tangan-tangan “misteri” dibelakang kebijakan ekspolitasi sumber daya alam kita. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar