Puluhan tahun silam saya pernah melihat sebuah karikatur di koran. Dalam karikatur itu digambarkan seorang yang memakai jas, posturnya tinggi besar – saking gemuknya sehingga nampak daging tebal terjuntai di leher
Orang yang digambarkan sebagai orang yang makmur itu berhadapan dengan sejumlah orang yang duduk di bangku. Wajah mereka simpang siur, tubuh kurus kering. Baju yang mereka kenakan tambal sulam. Kontras dengan penampilan orang pertama yang mengesankan kemapanan dan kemakmuran.
Apa yang mereka lakukan ? Rupanya orang pertama yang makmur itu adalah pendeta. Dia berdiri di mimbar kebaktian . Yang dimaksud sejumlah orang dengan baju compang camping, badan kurus dan wajah simpang siur adalah jamaah gereja.
Pendeta mengangkat kedua tangannya memberkati jamaahnya dengan ucapan : “pulanglah kalian dengan sejahtera dan terimalah berkat Tuhan.”
Apa sih pesan karikatur itu ? Soalnya karikatur itu tidak ada lagi penjelasan lain, selain gambar pendeta yang makmur dan jamaah yang papa.
Karikatur itu menurut saya, hendak menyindir sifat “serba akhirat’ yang dipahami oleh rohaniwan kita. Semua dipahami secara rohani saja. Padahal kan soal rohani itu berkaitan dengan soal jasmani juga. Mana boleh kita memahami “sejahtera dan berkat Tuhan “ akan menyelimuti orang yang miskin papa, baju compang camping, badan kurus kerempeng.
Damai dan sejahtera seperti apa dapat dimaknai ketika ada warga negara yang hak-haknya dilanggar. Kekayaannya dilarikan keluar negeri, sementara dia hidup miskin. Apakah masyarakat akan mendapatkan sejahtera dan berkat Tuhan ditengah negara yang korupsinya menggila menjurus pada pemerataan korupsi, bukan pemerataan kesejahteraan rakyat. Apakah kesejahteraan dan berkat Tuhan akan menyelimuti masyarakat ketika wajah hukum di Indonesia seperti sekarang ini. Bagaimana pula berkat Tuhan dan kesejahteraan dapat dipahami ketika ada yang sholat Ied dengan baju yang paling bagus, memakai minyak harum yang mahal, sementara itu ada yang tak sempat melaksnakan sholat Ied , tentu dengan berbagai alasan, ya.. salah satunya kemiskinan. Mungkin hanya memiliki pakaian yang ada di badan saja. Tidak memiliki kain sarung.
Teman saya bilang, bahwa karikatur itu kan dibuat oleh mereka yang menjelek-jelekan agama, mendiskreditkan agama, anti agama.
Boleh saja kita berpikir seperti pendapat teman saya itu, tapi kan tidak ada salahnya hal itu menjadi kritik oto kritik bagi kita orang yang beragama.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar