Rabu, 06 Maret 2013
REFORMA AGRARIA BUKAN GAGASAN KOMUNIS
24 September 1960, lahirlah sebuah undang-undang hasil karya anak bangsa yang sadar bahwa diperlukan sebuah dasar berpijak menata masalah pertanahan, yang sebelumnya masih berpijak pada undang-undang pemerintah Kolonial Belanda yang disebut Agrarische Wet (1870). Undang-undang karya anak negeri itu dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 . Suatu Undang-Undang yang dipersiapkan secara matang selama 12 tahun. Tidak tanggung-tanggung, sampai lima kali silih berganti panitia, mulai dari panitia Jogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahdjo (1956), Panitia Sunaryo (1956) dan terakhir Panitia Sudjarwo pada tahun 1959, yang bekerja sama dengan panitia Ad Hoc DPR dan team kerja dari UGM merumuskan naskah baru yang dijadikan dasar oleh Departemen Agraria dalam penyusunan RUU yang diajukan ke DPR pada tanggal 1 Agustus 1960.
Yang mensahkan UUP Agraria adalah Parlemen hasil Pemilu 1955, yang menurut banyak kalangan sebagai pemilu paling jujur dan demokratis selama republik ini berdiri. Anggotanya dari bermacam-macam partai dengan berbagai aliran (Ideologi Politik). Partai Nasional Indonesia (PNI)—aliran Nasionalis—dengan azaz Marhaenisme , Nadhatul Ulama (NU) dan Masyumi dengan azas Islam, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Sosialis Komunis (tindak lanjut praktek berpartai kaum Marxis yang banyak dipengaruhi Sovyet pada masa itu), ditambah dengan partai-partai kecil lainnya dengan azasnya masing-masing.
Peridoe awal 1960-an sampai dengan tahun 1965 terjadi pergolakan politik mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Sukarno, UUP Agraria tidak dapat maksimal dilaksanakan disebabkan banyak hal, antara lain: pertama, banyaknya perlawanan dari segelintir orang atau kelompok yang memang tidak senang dengan diberlakukannya UUP Agraria karena sangat jelas mengganggu kepentingan dominasi ekonominya (basis modal dan expansi bisnis). Kedua, disebabkan pemerintah memiliki kelemahan dalam soal data yang menyebabkan pelaksanaan di lapangan lamban bagaikan gerak langkah kura-kura. Pra 1965, PKI memanfaatkan momen itu dengan melakukan aksi sepihak, mengambil alih tanah dengan membagikan kepada rakyat . Tindakan sepihak oleh PKI tersebut tentu mendongkrak popularitasnya. Sebagai partai politik tentunya tindakan itu lebih banyak memperhitungkan sisi keuntungan politik dengan menafikan sisi yang lain.
Pemerintahan Orde Baru dengan paradigma barunya yang berorintasi pada pertumbuhan dan pembangunan (terutama fisik) membuka ‘kran lebar-lebar’ bagi penanaman modal asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dan untuk memuluskan programnya, dikeluarkanlah berbagai undang-undang seperti UU Penananaman Modal Asing, UU Kehutanan dan UU Pertambangan. UUP Agraria tidak pernah dinyatakan tidak menjadi acuan kebijakan, namun dalam prakteknya diabaikan ibarat barang rongsokan. Masyarakat takut membicarakan soal hak atas tanah dikaitkan dengan UUP Agraria karena takut akan dicap komunis atau sisa-sisa Komunis. Sengaja dihembuskan bahwa ‘Issue Reforma Agraria’ adalah sebagai program PKI, stigmatisasi dalam rangka memperkuat hegemoni dan dominasi Orba.
Satu kebohongan yang sengaja dihembuskan oleh kalangan anti/kontra reforma agraria, adalah dengan pura-pura tidak tahu bahwa UUP Agraraia adalah produk parlemen Indonesia yang terdiri dari banyak partai, dimana masa itu PKI sendiri hanya memiliki 37 kursi, sementara PNI (urutan teratas perolehan kursi di parlemen), NU dan Masyumi setelah digabung memiliki ratusan kursi, apalagi di tambah partai kecil lainnya,antara lain : Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Perti, PSII dll.
Bagi masyarakat kala itu, sepuluh kali lebih baik dituduh tukang santet, perampok, pencoleng dari pada dituduh antek-antek Partai Komunis Indonesia, dianggap sesuatu yang seram dan sangat menakutkan.
Untungnya masih ada intelektual kampus, para pakar Pertanahan di berbagai universitas terkenal di Jawa, antara lain MP Tjondronegoro, Gunawan Wiradi yang tidak pernah luntur watak intelektualnya untuk menjelaskan duduk-perkara proses lahirnya UUPA 1960, walaupun menghadapi rezim berkuasa yang otoriter. Mereka dengan jujur dan berani mengatakan kebenaran terkait masalah reforma agraria yang menjadi esensi utama kalau memang berkeinginan mensejahterakan rakyat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. .
Pada sekitar tahun 70-an terjadi sengketa tanah di berbagai daerah yang tentunya terasa mengganggu stabilitas kemapanan pemerintahan orde baru, sehingga Suharto perlu menugaskan kepada Sumitro Djoyohadikusumo untuk mengakaji secara imliah persoalan agraria. Dan dikeluarkannya pernyataan pemerintah bahwa UUP Agraria masih tetap berlaku dan undang-undang itu bukan produk Komunis. Walaupun kenyataannya pernyataan pemerintah hanya sekedar retorika kosong, karena terbukti UUP Agraria hanyalah menjadi pajangan dan tidak dilaksnakan sepenuh hati.
Belajar dari pengalaman negara lain yang sudah mengalami kemajuan seperti Jepang, Korea Selatan dan India, negara-negara itu sudah melaksanakan reforma agraria. Jepang bahkan telah melaksanakan Reforma Agraria sampai dua kali secara tuntas. Tentunya tidak ada alasan bagi negara agraris seperti Indonesia mengabaikan Reforma Agraria. Sesuatu yang tidak masuk akal kalau hendak berbicara kesejahteraan petani sementara penguasaan tanah oleh belasan juta penduduk hanya dibawah 0,5 ha dan jutaan lainnya tidak memiliki tanah yang realitasnya sebagai buruh tani atau petani penggarap, berbanding terbalik dengan ‘tuan tanah’ yang menguasai tanah yang luas serta jutaan hektar lahan garapan perusahaan perkebunan, pengusaha HPH, dan tambang—konsesi secara besar-besaran.
SBY-JK dalam kampanye Pilpres tahun 2004 meneriakan kesejahteraan petani sebagai issue kampanye. Bahkan tidak ketinggalan menyentil juga Reforma Agraria. Sudah lumrah, Itu menjadi tabiat siapa saja yang ingin merebut hati pemIlih dari petani demi menggapai kekuasaan. Urusan apakah dapat ditepati atau tidak, itu soal belakangan. Tidak perlu memusingkan soal apa yang sudah menjadi issue kampanye. Janji tingal jani. Nati kalau ada kepentingan mau meraup suar petani, bikin janji lagi. Kata orang, masyarakat kita memiliki budaya lupa. Rupanya budaya lupa dari masyarakat dipahami betul oleh elite politik kita. Nanti kan kalau sudah dibujuk lagi dengan sumbangan kostum olah raga buat anak muda kesebelasan bola kaki, sumbangan semen buat mushola, menghamburkan baju kaos ditambah dengan kampanye program yang menjanjikan, maka persoalan pasti akan beres.. Apalagi dengan wajah ganteng menebarkan pesona bagaikan bintang film, pasti banyak lagi ibu-ibu yang yang jatuh simpati.
Yang perlu disadari oleh kaum tani Indonesia, bahwa pengalaman sejarah telah memberikan bukti bahwa Reforma Agraria yang hanya berdasarkan kemauan dan inisiatif pemerintah adalah Refmorma Agraria yang tidak akan banyak faedahnya. Sebabnya, pada saat pemerintahan berganti dengan rezim yang paradigma pembangunannya telah berobah, maka secara otomatis Reforma Agraria akan tenggelam ditelan bumi. Contoh kongkrit : setelah pemerintahan Sukarno berganti dengan pemerintahan Suharto, Reforma Agraria dibuang di tong sampah. Sejak kejatuhan Suharto, sudah beberapa kali berganti pimpinan nasional, tetap saja Reforma Agraria dianggap tidak penting.
Reforma Agraria yang ideal adalah Reforma Agraria yang berdasarkan inisatif rakyat atau dengan kata lain : dengan upaya dan perjuangan dari petani melalui perjuangan membangun kekuatan organisasI yang solid baik kekuatan secara politik (daya tawar) maupun kekuatan ekonomi , sehingga petani memiiliki daya kekuatan untuk menggoalkan Reforma Agraria sejati. Tanpa Reforma Agraria, tidak akan terwujud kesejahteraan petani.
*Disari dari berbagai sumber
*Pernah dipublikasikan di Harian Suara Sulteng (2007
oleh Usman Hasan pada 30 Agustus 2012 pukul 14:49
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar