Mimpi itu bunga tidur. Begitu kata sebagian orang. Ada pula yang menganggap- mimpi itu memiliki makna, kadang dikaitkan dengan keberuntungan, musibah dan sebagainya.
Pernah seseorang menceritakan sebuah mimpi kepada saya. Ketika itu sudah dekat Pilpres. Ceritanya begini : itu pasangan calon kita masing-masing dengan angka punggung A,B,C dan D. Itu saya lihat calon A duduk di kursi mewah, wajahnya memancarkan cahaya, sementara itu calon B, C, dan D, hanya nampak samar-samar,masing-masing mereka duduk di kursi, tapi tidak begitu nampak wajahnya.
Setelah dilaksanakan Pilpres, itu pasangan calon dengan angka punggung A yang diliputi cahaya, dia lolos. Mungkin kebetulan, mungkin juga teman saya tidak bermimpi seperti itu, kemudian dia ngarang-ngarang saja, entahlah. Tapi, ada yang bilang, kalau seseorang menceritakan mimpi yang tidak pernah dia alami, maka itu kebohongan besar, maksudnya berdosa besar.
Nah, saya ini kan suka nulis-nulis, suka bermain di tataran imajinasi, ya kalau bahasa kasarnya “ berbohong”, tidak benar bermimpi, tapi mengaku bermimpi, hanya karena ingin menuangkan pikiran imajinatif dalam sebuah tulisan. Sudah lah, kalau berdosa biar saya tanggung sendiri, apa boleh buat. Saya mau menceritakan “mimpi” saya ( he he tidak benar bermimpi alias mimpi karangan.)
Saya bertemu dengan seorang tokoh nasional, beliau ini sudah almarhum, saya amati, eh, ini Bung Adam Malik, wartawan tiga zaman, dijuluki si kancil, pernah menjabat Wakil Presiden, Ketua MPR/DPR dan pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Keamanan PBB.
“Ada apa nak, ada yang perlu saya bantu ? “ Demikian suara Adam Malik penuh wibawa.
Saya terkejut kemudian dengan menjura penuh hormat, saya berkata : maaf beribu maaf, apa saya berhadapan dengan bapak Adam Malik .
“Benar sekali. Apa khabar dari duniamu. “
‘Alhamdulillah bapak Adam Malik, baik-baik saja, pembangunan gedung maju pesat pak, walau beras saja kami impor, banyak sekali legislator pintar-pintar, tapi kadang hanya lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang memberikan solusi. Itu Bung Karno cuma meminta sepuluh pemuda maka dia akan menggoncangkan dunia, pak, tapi negeriku pak, ratusan sampai ribuan legislator, tidak ada juga pak, jangankan hendak menggoncangkan dunia, justru kerjanya hanya membesarkan partainya, kelompoknya dan utamanya dirinya sendiri. Pendidikan maju, sekolah ada sampai di desa dan kecamatan, walau ada yang sekolah hanya ada dua orang guru, universitas sampai ke daerah kabupaten walau banyak konfliknya. Bapak ini kan masih menjabat menteri ketika Orde Lama, nah ketika muncul Orde Baru, maka Orde Lama dianggap seperti “anjing kurapan”, tidak ada lagi unsur positifnya. Kemudian muncul Orde Reformasi, semua berteriak Orde Baru busuk, lamban, pro modal asing, pemerintahan diktator, melanggar HAM. Diteriakkan pula Suharto digantung, Golkar dibubarkan, ABRI harus digusur dari Parlemen. Nyatanya pak, mereka lebih busuk dari yang mereka kritik itu, pak Adam Malik yang saya sangat hormati.
‘Wah.. wah.. hebat, cara ngomongmu itu, luar biasa sekali, gaya profokatif, tidak gampang. Atau gayamu bicaramu jangan-jangan gambaran atau mewakili gaya bicara generasimu,gaya bicara legislator yang kamu kritik itu. “ Kata Adam Malik dengan suara tajam, suaranya agak nyaring.
Saya tertunduk, tak mampu memandang wajah Adam Malik yang sangat berwibawa. Kemudian dengan suara pelan berkata : “ Maafkan saya bapak Adam Malik idolaku, saya ini hanya frustasi saja pak, mungkin yang benar bahwa saya mewakili generasi yang frustasi pak, soalnya banyak pemimpin kami bicara tidak sesuai dengan perbuatan, “ gentinya” minta ampun pak, kalau gaya bicaranya sih, ya batu pun bergoyang. Penegak hukumnya pak, sebahagian besar menjual perkara jadi barang dagangan, politisinya menjual kebijakan kepada pemilik modal pak, katanya hendak membela rakyat, ternyata hanya membela kepentingan segelintir orang. LSM-nya, kurang lebih sama pak, lebih banyak jadi broker, mereka seolah-olah tidak bisa eksis kalau tidak jadi “pesuruh” elite kekuasaan, tidak mandiri pak. Mereka sama pak hanya mengejar kekuasaan juga, tapi dengan jargon kerakyatan pak, sama dengan politisi itu pak. Wartawannya ? Kurang lebih pak, tidak ada harapan. Rakyat kan mengharapkan pemerintahan bersih, pak. “
‘Luar biasa, dari kata-katamu, pertama saya hendak garis bawahi, ada semangat pesimisme. Mustinya, generasi unggul tidak pesimis. Kedua, itu ucapanmu terakhir soal pemerintahan bersih. Sudah lama saya katakan bukan hanya kepada publik, tapi pertama saya katakan kepada anakku sendiri, darah dagingku sendiri. Ketika itu dia mahasiswa, ya sedikit banyak dia bersimpati dengan gerakan mahasiswa tahun 70-an yang mengusung isu pemerintahan bersih, sementara saya Wakil Presiden. Saya katakan dengan anakku, jangan kamu membohongi rakyat. Rakyat sudah susah, tapi jangan kamu tambah beban rakyat dengan kebohongan. Tidak ada yang namanya pemerintahan bersih, makanya rajin belajar sejarah.”
Saya tertunduk, tidak mampu lagi mengucapkan apa-apa. Hanya saya bergumam sendiri, betapa uniknya ini Bung Adam Malik, konon pendidikan formalnya hanya kelas II SMP, tapi luar biasa jernih pemikirannya, jujur sekali, apa adanya, tidak menghamburkan kata-kata surga telinga. Sulit sekali mencari tokoh sekaliber beliau. Apa lagi saya yang cuma bisa kerja nulis-nulis, oh jauh ibarat bumi dan langit. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar